“SENI”
Seni
dan kerajinan tangan sama-sama merupakan suatu karya yang dihasilkan oleh
manusia yang dapat dinikmati oleh panca indera. Yang membedakan seni dan
kerajianan tangan adalah kerajinan tangan lebih condong kepada suatu hasil
karya yang menghasilkan manfaat atau bermanfaat, sedangkan seni lebih condong
kepada penciptaan sebuah keindahan. Sesuatu yang menciptakan sebuah keindahan
akan disebut dengan seni.
Suatu
hal dikatakan indah secara alami kalau hal tersebut menampilkan gagasan atau
ide yang dimilikinya secara cemerlang. Sedangakan sesuatu dikatakan indah
secara artistik bukan hanya pengulangan atau tindasan dari hal-hal yang
terdapat dalam alam. Sebaliknya, tugas seni adalah membiarkan ide-ide tampil
dengan kedalaman dan kekuatan yang sama sekali baru dan merefleksikan
rahasia-rahasia terdalam dari realitas dalam karya-karya kreatif seni. Karena
alasan inilah, maksud dan tujuan seni adalah menyajikan dan menggambarkan
gagasan-gagasan, bukan menghasilkan benda-benda atau barang-barang semata.
Seniman
adalah seorang pengamat yang meresapi rahasia-rahasia terdalam dari setiap
eksisten, bahakan ada orang yang memperluas “rahasia” itu dengan
“gagasan-gagasan kreatif Tuhan”. Dan seniman adalah “seorang pembuat” yang
mampu mengungkapkan visinya dalam sebuah karya yang akan dibuatnya. Seorang
seniman tampil diantara masyarakat di lingkungannya sebagai seseoranga yang
menghargai dan mengagungkan eksistensi sebuah keindahan.
Seni yang berfungsi pokok untuk
menghasilkan pengalaman estetis tentang suatu keindahan tanpa memperhatikan apa
manfaat atau kegunaan ekonomis atau praktis yang mungkin dihasilkannya. Yang
umum berbeda dengan seni murni dapat disebut seni mekanis atau seni bermanfaat.
Yang terakhir ini mengacu pada produk-produk yang mempunyai kegunaan praktis tertentu
(seperti kursi, mobil, rumah, payung, dan lain-lain) yang dapat dibuat dengan
tetap memperhatikan sifat-sifat estetis namun tertutama ditujukan demi fungsi
yang tidak estetis.
“Seni
untuk seni” adalah sebuah prinsip estetis yang menyatakan bahwa seni memiliki
tujuan pada dirinya sendiri dan sifat mutlak. Prinsip ini bertumpu pada
pemisahan seni dari kehidupan masyarakat. Prinsip ini tersebar dalam abad ke-19
dan abad ke-20. Tujuan seni adalah mencari kepenuhan kepuasan estetis murni.
Prinsip ini ingin menentang realisme, yang dianut oleh kaum estetikawan pada
saat itu. Prinsip ini menolaj makna kognitif, ideologis dan edukatif dari seni,
juga tidak mau bergantung pada tuntutan-tuntutan praktis dari suatu zaman.
Semua ini menimbulkan kesan dan klaim bahwa seniman “bebas” dari masyarakat dan
tidak memikul tanggung jawab terhadap bangsa.
PEMBAHASAN
Seni
sudah ada sejak zaman Nabi Adam AS, dulu seni lebih kepada agama dan
kepercayaan. Terutama seni di dalam Al-Qur’an, Al-Qur’an memiliki nilai seni
yang sangat tinggi. Dari bahasa yang digunakan mengandung arti yang mendalam
dan tidak ada orang yang bisa membuat satu ayatpun dalam Al-Qur’an, hanya
Allahlah yang bisa membuat ayat-ayat dalam Al-Qur’an itu indah.
Selanjutnya
zaman prasejarah, pada zaman Babilonia, Mesir kuno, dan Yunani konsep seni juga
sudah ada. Dari zaman Babilonia yang mengenal sistem angka dan notasi angka
dengan bilangan berbasis 60 yaitu sistem seksadesimal. Sistem notasi ini mampu
menampilkan bilangan pecahan dan terbukti menjadi dasar perkembanan bilangan
matematika dengan order yang lebih tinggi. Selain sistem simbol, pada zaman
Babilonia juga berkembang tentang konsep teorema Pythagoras. Walaupun secara
konsep teorema pythagoras sudah ada pada zaman Babilonia, akan tetapi yang terkenal
dengan teorema pythagoras ada seorang filsuf yunani yang bernama Pythagoras.
Kata “pythagoras” dalam teorema pythagoras karena mengambil nama dari filsuf
yang bernama Pythagoras. Kenapa Pythagoras lebih dikenal daripada suku
Babilonia? Hal ini dikarenaka Pythagoras yang membuat teorema pythagoras ini
lebih terstruktur rapi dan mudah dimengerti oleh khalayak banyak karena sudah
dibukukan. Sistem angka, notasi angka, dan teorema pythagoras inilah yang
menjadi seni dalam matematika, seni dalam berhitung.
Berbeda
dengan zaman Babilonia yang menotasikan angka dengan bilangan berbasis 60,
sistem bilangan zaman Mesir Kuno memiliki basis 10 yaitu sistem
hieroglyphs. Selain itu, sistem bilangan
yang digunakan disusun oleh bilangan hieratik. Bilangan hieratik tidak
membentuk suatu sistem posisional sehingga nilai angka-angka tertentu dapat
dituliskan dalam banyak susunan. Dengan sistem nilai angka ini dapat dibentuk
dari sedikit simbol, lebih praktis dibandingkan sistem bilangan yang digunakan
pada zaman Babilonia. Selain itu, pada zama Mesir Kuno juga terdapat Kalender
Mesir Kuno. Kalender ini awalnya digunakan untuk mengetahui kapan sungai Nil
akan banjir. Namun karena kebermanfaatannya, kalender ini juga digunakan untuk
kalender sipil dengan perubahan menjadi basis kalender Julian dan Gregorian.
Kalender ini merupakan sebuah karya nyata seni dari zaman Mesir Kuno. Dari
kedua zaman ini terlihat bahwa nilai seni seseorang berbeda-beda dan akan terus
berkembang tidak terbatas ruang dan waktu.
Dari
zaman pra sejarah kita beranjak ke zaman klasik, pada zaman ini terdapat
beberapa tokoh seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Karya-karya Sokrates
sangat banyak seperti kebenaran, teknik, ilmu pengetahuan, negara, keadaan
asal, dan dewa. Akan tetapi karya-karya dari Sokrates ini tidak dibukukan,
ajarannya hanya disampaikan secara lisan kepada murid-muridnya dan orang-orang
yang ada disekitarnya. Sokrates merupakan salah satu yang mengembangkan daya
imajinasinya untuk memikirkan sesuatu. Dia berhasil menggabungkan imaji-imaji
untuk membentuk imajinasi yang kreatif. Karyanya tentang kebenaran selalu
dipegang teguh olehnya, sampai hayatnya. Dia meninggal ketika dia sedang
dipenjara, walaupun ada muridnya yang ingin membebaskannya dari penjara tapi Sokrates
jelas-jelas menolaknya. Karena menurutnya, kebenaran hukum itu tidak akan
pernah salah, yang salah bukan hukumnya melainkan orang yang terlibat dalam
hukum tersebut.
Pemahaman
seni yang dipaparkan Plato merupakan aliran pemahaman yang sama dengan filsafat
seni rupa timur. Filsafat seni timur berkembang di Mesir, India, Yunani, Yunani
mengalami perkembangan yang baik dalam filsafat seni dengan banyak menyerap
filsafat dari wilayah timur seperti Filsafat seni dari Mesir (Mesir Kuno,
Hermes). Filsafat seni menurut Plato merupakan Nimesis (Peniruan), bahwa karya
seni itu tidak ada yang baru, semua yang sudah tercipta sebelumnya sudah ada
dahulu. Seniman merupakan peniru bentuk yang sudah ada. Plato mengajarkan
tentang Idea, bahwa filsafat berkesenian terdiri dari dua dunia, yaitu: dunia
atas (idea), dan dunia bawah (dunia nyata). Segala yang ada di dunia nyata itu
bukanlah sesuatu yang baru, semuanya telah ada dan tercipta dalam dunia atas
atau idea. Seni merupakan kegiatan atau objek perbuatan yang dikendalikan oleh
gerakan dari suatu teori ke praktik, dan kontras dengan gerakan ke atas menuju
teori. Tetapi dalam Republic buku X,
seni (fine arts) dianggap sebagai
“tiruan atas tiruan”.
Contohnya
adalah: “mengapa ada kursi”. Ini merupakan tali penyambung antara idea dengan
dunia nyata dan kursi tercipta bukan sesuatu yang baru karena telah lebih dulu
tercipta dalam ide seseorang. Lalu apa yang tercipta dalam ide kursi ? Yang
tercipta dalam ide kursi adalah “capek berdiri, maka membuat alat bantu untuk
menghilangkan kecapekan tersebut”.
Idea
itu bersifat rohani, tak terlihat, hanya bisa dirasakan tanpa rabaan. Berbeda
dengan dunia bawah yang lebih bersifat duniawi, bentuknya ada bisa dirasakan
dengan indra-indra yang ada pada tubuh.
Yunani
kuno mempelajari filsafat seni dalam suatu kerangka kosmosentris (makrokosmos
dan mikrokosmos). Yang menjadi pusat acuannya adalah alam sebagai makrokosmos
dan manusia sebagai mikrokosmos. Ini juga sesuai dengan ajaran Hermes (Mesir
kuno).
Seiring
berkembangan zaman, nilai seni seseorang tentang segala sesuatu juga pasti akan
berubah. Beranjak dari zaman prasejarah menuju zaman pertengahan. Zaman
pertengahan ini terdapat hubungan erat antara agama kristen dengan filsafat.
Ajaran tentang dunia menurut Aurelius Augustinys berhubungan dengan ajarannya
mengenai ide-ide sebagi citra awal segala sesuatu. Seni berasal dari Allah dan
di dalamnya ada roh atau budi. Dengan kata lain, dunia diciptakan dengan
rancangan atau ide-ide dalam budi Allah. Augustinus tentang seni dunia adalah
materi, waktu, dan bentuk yang merupakan ide-ide abadi. Dan dalam imajinasinya
itu dia mengatakan bahwa terdapat materi yang tidak mempunyai bentuk tertentuk
yang kemudian disebutnya rationes
seminales, yaitu suatu materi yang mengandung prinsip aktif dari semua
makhluk hidup berasal dan berkembang. Contohnya, seekor burung sudah ada di
dalam telur. Abad pertengahan lebih
berpusat pada Tuhan sebagai objek seni. Segala kegiatan berkesenian harus
ditujukan pada Tuhan. Karena itu refleksi tersebut lebih bersifat teosentris.
Masa
modern bermula dengan munculnya Renaissance yang dimana dalam berkesenian tidak
lagi berpusat pada Tuhan atau teosentri, tapi lebih pada antropos yaitu
manusia. Manusia menjadi titik tolak dan pergerakan filsafat dan seni. Untuk
memahami ajaran Plato mengenai dua dunia, haruslah memahami realitas. Realitas
yang dimaksud bukanlah indrawi karena
realitas indrawi merupakan perwujudan dari dunia idea yang bersifat kekal dan
tak berubah.
Dunia
realitas adalah merupkan tiruan dari dunia atas atau idea.
Dunia
atas adalah roh, sejati, pengetahuan sejati, dan kebenaran absolute. Sedangkan
dunia bawah adalah relative, sehari-hari, fana, relative, pendapat (doxa).
Dinyatakan bahwa yang indah dan merupakan sumber keindahan adalah
kesederhanaan. Keindahan sesungguhnya hanya ada di dunia Idea.
Hubungan antara dunia
atas dan bawah memiliki timbale balik, seperti penguraiannya dibawah ini:
Paradigma : dunia atas menjadi contoh
bagi dunia bawah.
Hadir pada : dunia atas selalu hadir
pada dunia bawah.
Partisipasi : dunia bawah mengambil
bagian di dunia atas.
Pandangan
seni oleh Aristoteles berbeda dengan pandangan Plato gurunya. Plato memandang
seni tidak dapat dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan karena didalam seni
terdapat emosi, emosi tersebut dapat berdampak negative bagi yang menikmati
seni tersebut (seni drama). Pandangan yang kontradiktif dengan Aristoteles yang
menganggap seni itu merupakan ilmu pengetahuan.
Menurut
Aristoteles, Plato dengan dunia ideanya merupakan kesalahan interpretasi
terhadap kenyataan bahwa manusi dapat membentuk konsep universal tentang
hal-hal yang empiris. Dalam artian, Aristoteles lebih bertolak dengan realitas
indrawi. Dapat dilihat bahwa Aristoteles mementingkan penelitian di alam.
Dalam
ajaran metafisiska Aristoteles berkata bahwa hakekat suatu benda, berada pada
benda itu sendiri bukan seperti ajaran Plato mengenai dunia ideanya yang
bastrak.
Aristoteles
menciptkan pemahaman sebagai berikut:
1. Penyebab
formal (causa formalis) : ini adalah bentuk yang menyusun bahan seperti kayu
menjadi sebuah kursi.
2. Penyebab
final ( causa finalis) : ini adalah tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian.
Misalnya kursi dibuat agar manusia dapat duduk / istirahat diatas kursi
tersebut.
3. Penyebab
efisien (causa efficiens) : ini adalah motor yang menjalankan kejadian dalam
artian tentang kursi adalah tukang yang membuat kursi dari sebuah kayu.
4. Penyebab
material (causa materialis) : ini adalah bahan dari mana benda tersebut
dibuat.Misalnya bahan pembuat kursi adalah kayu, paku dan lain-lain. Penyebab
material adalah factor yang menimbulkan adanya ketidakmantapan dalam suatu
benda.
Sumber Estetika adalah sebagai berikut:
1. Tuhan
menciptakan keindahan (Plato).
2. Seniman
menemukan keindahan (Aristoteles).
3. Karya
Seni memancarkan keindahan.
4. Penikmat
Seni merasakan keindahan.
Aquinas
mengikuti kedua pendahulunya yaitu Plato dan Aristoteles mendefinisikan seni
sebagai rasio yang benar dalam membuat barang-barang.
Dasar
Pemikiran Susanne K Lenger
Menurut
ia seni memiliki logikannya sendiri, yakni logika simbolis yang mampu
menampilkan maslah-masalah etis secara khas. Estetika dapat menjadi jalan masuk
ke bidang etika.Lenger menjauhakan filsafat dari proses ilmiah. Baginya
filsafat merupakan sebuah proses untuk mendapatkan pengertian diluar
pengalaman, bukan untuk mendapatkan pengalaman. Filasafat mengambil ide dari
orang yang mengekspresikan fakta dan hukum, kepercayaan hipotesis, dan bertanya
apakah itu salah atau benar.
Langer
menyatakan bahwa tugas dari filsafat adalah untuk merefleksikan maksud dari
kata yang kita maksud untuk mengaplikasikannya pada pernyataan yang kita
jelaskan. Yang secara harafiah ini berarti bahwa fokus penyelidikan filsafat
yang berupa kata-kata tersebut lebih baik dari pada benda, perbuatan dan
kepercayaan.
Secara
keseluruhan, filsafat berusaha untuk tidak menutupi atau menyingkapkan
realitas. Filsafat membuat urutan, sebuah proses dalam membangun pengertian
diluar pengalaman.
S. Langer membedakan antar tanda dan
simbol.
1. Tanda
(sign)
Dipakai
untuk menyatakan suatu hal, peristiwa atau keadaan. Tanda merujuk pada
obyeknya, artinya antara tanda dan obyeknya terjalin suatu hubungan. Dan
biasanya tanda merangsang subyek, si pengangkap tanda untuk bertindak. Ada dua
macam tanda, yakni tanda alamiah dan tanda buatan. Coantoh: asap (tanda
alamiah) ; peluit (tanda buatan).
2. Simbol
Lebih
merujuk pada konsep. Sifatnya tidak terlalu merangsang subyek untuk bertindak,
namun membuat kita untuk memahaminya. Simbol merupakan wahana khas bagi konsepsi
manusia tentang obyek. Simbol lebih merupakan suatu representasi mental dari
subyek.Dua Macam Simbol
a.
Simbol Diskursif
Simbol yang rasional atau yang dapat dimengerti
secara nalar. Hal ini terungkap jelas dalam bahasa. Juga dalam analisis
pernyataan-pernyataan dalam logika. Simbol ini pengungkapannya secara bertahap
dan dapat ditangkap oleh kemampuan akal budi.
b.
Simbol Representasional
Simbol ini penangkapannya tidak lewat intelek,
tetapi spontan, dan intuitif langsung. Contoh dalam karya seni. Sebuah lukisan
hanya dapat kita tangkap melalui arti keseluruhan, yaitu melalui hubungan
antara-antara elemen-elemen simbol dalam struktur keseluruhan.
Clive
Bell
Didalam
estetika ada dua pendekatan untuk pemahaman karya seni. Yang pertama, yaitu
langsung melihat tau meneliti keindahan dalam karya seni itu sendiri. Jadi,
apabila seorang mengatakan suatu karya seni itu indah, artinya ia memang benar
indah dari bendanya (karya seni) itu sendiri.
Yang
kedua adalah melihat situasi rasa indah yang dialami oleh si subyek (pengalaman
keindahan dari diri seseorang), sering dikenal dengan istilah pendekatan
subyektif. Seorang seniman yang sudah bertahun-tahun menekuni seni lukis,
ketika melihat sebuah lukisan akan merasakan dan mengatakan bagus. Berbeda
dengan seorang montir mobil yang tidak mngerti apa-apa, ketika melihat lukisan
yang sama mungkin reaksinya akan biasa-biasa saja. Karena si montir tidak
memiliki pengalaman estetis seperti seniman tadi. Atau yang terjadi juga dapat
sebaliknya, karena si seniman sudah terbiasa menekuni lukisan maka dia bila
melihat lukisan yang sama mungkin reaksinya akan biasa-bias saja.
Dari
penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa karya seni mampu memberi pengalaman
keindahan dari zaman ke zaman.
Kita
sebagai subyek yang mengamati karya seni yang sebagai obyek yang diamati. Maka
didalam diri kita akan muncul reaksi-reaksi yang berpusat pada rasa, yang
kemudian terfokus dalam pengalaman-pengalaman.Jadi pengalaman estetis seseorang
dengan yang lain tidaklah sama. Maka pengalaman seni adalah pengalaman yang
sangat pribadi.
Beberapa
Pandangan beberapa filsuf lain:
1. Lessing
berpandangan bahwa tiap seni yang juga mempunyai prinsip pengaturannya sendiri.
2. Hegel
membedakan seni menjadi tiga macam yang juga merupakan tahap-tahap dalam
perkembangannya yaitu simbolik, klasik, dan romantik.
3. Schopenhauer
memandang musik sebagai seni yang tertinggi.
4. Dewey
memandang seni sebagai pengalaman dalam tahap konsumaternya.
Dari
uraian penjelasan di atas, dapat disimpulkan beberapa pengertian dari seni,
diantaranya seni merupakan:
1. Kreasi
manusia yang memiliki mutu atau nilai keindahan
2. Keterampilan
yang dicapai dalam pengalaman yang memungkinkan kemampuan untuk menyusun,
menggunakan secara sistematis dan intensional sarana-sarana fisik agar
memperoleh hasil yang diinginkan menurut prinsip-prinsip estetis, entah
ditangkap secara intuitif maupun kognitif.
3. Suatu
bentuk kesadaran sosial dan kegiatan insani yang merefleksikan realitas dalam
gambar-gambar artistik dan merupakan cara yang amat penting dalam menyelami dan
memotret dunia.
4. Pekerjaan,
suatu pencaharian yang menjadi sumber ilham bagi kreasi artistik dan merupakan
sumber dari proses awal membentuk rasa dan kebutuhan esensi manusia.
5. Daya
untuk melaksanakan tindakan-tindakan tertentu yang dibimbing oleh pengetahuan
khusus dan istimewa dan dijalankan dengan keterampilan. Seni merupakan
kemampuan istimewa untuk melakukan atau menghasilkan sesuatu menurut
prinsip-prinsip estetis.
Pembahasan
selanjutnya adalah mengenai imaji apabila dilihat dari segi filsafat maka akan
diperoleh struktur seperti berikut ini.
Awam
|
Gambar
|
Ideologi
|
Identitas, kepercayaan
|
Budaya
|
Karya, Keindahan, Keselarasan
|
Ada
|
Karya
|
Mengada
|
Yang mungkin ada
|
Pengada
|
Sarana ritual
keagamaan
|
Sekolah
|
Sumber ilmu
|
Guru
|
Perhitungan, pengelompokkan,
pengetahuan
|
Siswa
|
Kreatif
|
Metode
|
Kontekstual, Saintifik
|
Ujian
|
Soal
|
Kurikulum
|
Kurikulum
KTSP, kurikulum 2013
|
Formal
|
Angka dan bilangan
|
Epistemologi
|
Isi
|
Ontologi
|
Wadah dan isi
|
Estetika
|
Seni dan keindahan
|
Etika
|
Moral
|
Sosiologi
|
Budaya
|
Sosial
|
Bahasa
|
Politik
|
Negara
|
Psikologi
|
Imajinasi, kreatif, ilmiah, religius
|
Spiritual
|
Doa, kesucian, surga dan neraka,
akhirat
|
DAFTAR PUSTAKA
Boyer, Carl B. (1991).
A history of mathematics. NY, USA:
John Wiley & Sons.
Burton. (2006). The history of mathematics: an intoduction,
sixth edition. USA: The McGraw-Hill, Inc.
Haza’a, Salah
Kaduri., Dyastriningrum Subandiati, dan Ibnu Ngatoilah. (2004). Sejarah matematika klasik dan modern.
Yogyakarta: UAD Press.
Lechte, John.
(2001). 50 filsuf kontemporer.
(Terjemahan A. Gunawan Admiranto). NY, USA: Routledge.
Nata, Abuddin.
(2005). Filsafat pendidikan islam.
Jakarta: Gaya Media
Pratama.Saefullah,
Djaja. (2004). Pengantar filsafat.
Bandung: Refika Aditama.
Ravert, Jerome
R. (2009). Filsafat ilmu sejarah dan ruang
lingkup bahasan. (Terjemahan Saut Pasaribu). England: Oxford University
Press. (Buku asli diterbitkan tahun 1982)
Smith, Karl J.
(2012). The nature of mathematics 12th
edition. USA: Brooks/ Cole Cengange.
Tjahjadi, Simon
Petrus L. (2004). Petualangan intelektual.
Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar