PENDAHULUAN
Nilai
dalam bahasa inggris disebut denganvalue,
sedangkan menurut bahasa Latin nilai disebut denganvalere yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, kuat. Berdasarkan
pengertian di atas, konsep tentang nilai sebenarnya sudah lahir sejak awal mula
manusia itu ada (sejak zaman Nabi Adam AS). Pada zaman itu, konsep tentang nilai
sudah mulai ada walaupun pada zaman itu belum ada ketetapan hukum yang berlaku.
Contohnya, ketika anak Nabi Adam yang bernama Qobil membunuh saudaranya sendiri
yang bernama Habil. Setelah dia membunuh saudaranya, dia merasa bingung untuk
melakukan apa ke jazad saudanya itu. Kemudian, Qobil tersadar bahwa perbuatan
membunuh itu tidak baik ketika dia melihat burung gagak yang sedang bertarung
dan salah satu burung gagak itu juga mati. Setelah melihat burung gagak itu
mengubur temannya, Qobil pun akhirnya mengubur jazad saudaranya itu. Dia sadar
bahwa membunuh itu bukan perbuatan baik walaupun pada zaman itu hukum belum
berlaku.Ini juga bisa dikategorikan sebagai pemahanan tentang nilai, yang lebih
khususnya nilai moral, atau naluri alamiah dari manusia yang cenderung ke arah
normatif dan spiritual.
Setelah
perkembangan peradaban manusiamenjadi zaman prasejarah, zaman klasik, zaman
pertengahan (skolastik), zaman modern, zaman postmodern terdapat beberapa
filsuf yang membahas tentang nilai yang berbeda dan arti nilai itu sendiri
semakin luas dibandingkan dengan pengertian nilai pada zaman Nabi Adam. Berikut
penjabarannya nilai menurut pendapat beberapa filsuf di zaman yang berbeda:
ZAMAN PRASEJARAH
1.
Zaman
Babilonia (3500 SM)
Berbeda
dengan pada zaman Nabi Adam, nilai pada zaman Babilonia ini lebih ke arah
material dan formal. Pada zaman Babilonia nilai disini untuk menunjukkan suatu sistem
angka. Matematika berawal dari berhitung, dan dengan catatan perhitungan maka
berarti terdapat pernyataan tentang bilangan. Sistem tentang bilangan atau
angka ini yang disebut dengan nilai atau suatu sistem bilangan notasi nilai. Sistem notasi nilai yang berkembang pada
zaman Babilonia adalah bilangan berbasis 60. Sistem notasi nilai ini mampu
menampilkan bilangan pecahan dan terbukti menjadi dasar perkembanan bilangan
matematika dengan order yang lebih tinggi.
2.
Zaman
Mesir Kuno (3000 SM)
Nilai
pada zaman mesir kuno memiliki arti yang sama pada zaman babilonia, yaitu
sistem suatu bilangan. Sistem bilangan zaman mesir kuno memiliki basis 10
sistem hieroglyphs. Selain itu, sistem
bilangan yang digunakan disusun oleh bilangan hieratik. Bilangan hieratik tidak
membentuk suatu sistem posisional sehingga nilai angka-angka tertentu dapat
dituliskan dalam banyak susunan. Dengan sistem nilai angka ini dapat dibentuk
dari sedikit simbol.
3.
Zaman
Yunani
a.
Thales
(624-546 SM)
Sebagai bapak filsafat
kelahiran Miletus negara bagian Yunani, pertama ia mengajukan sebuah pertanyaan
yang relevan dengan ada dan Ada (pengada pertama) yaitu“What is the nature of
world stuf“? (apa sebenarnya bahan alam semesta itu?). Pertanyaan ini ditemukan
jawabanya oleh Thales bahwa bahan atau sesuatu itu adalah “air”. Secara
aksiologis apakah air mempunyai nilai objektif atau subjektif. Mungkinkah air
bernilai meskipun tanpa epistemologi dan ontolonginya? Atau apakah air termasuk
kategorisasi nilai atau tidak bernilai?
b.
Anaximandros
(611-546 SM)
Anaximandros yang
merupakan murid dari Thales, berpendapat lain. Ia mengatakan bahwa prisnsip
segala sesuatu bukanlah anasir alam yang konkret seperti air. Sebab, seandainya
air sebagai unsur basah merupakan prinsip segala sesuatu maka seharusnya api
juga merupak prinsip segala sesuatu. Air sebagai prinsip segala sesuatu menjadi
tidak bernilai.
c.
Pythagoras
(570-495 SM)
Pythagoras dikenal
sebagai “Bapak Bilangan” yang merupakan salah satu filsuf Yunani yang paling
dikenal melalui teoremanya. Dalam pendekatan Pythagoras, nilai diidentikkan
dengan bilangan. Misalnya, “7” adalah kesehatan dan bilangan kuadrat adalah
keadilan. Dalam pendekatan lain dinyatakkan bahwa nilai muncul dalam konflik.
d.
Herakleitos
(550-480 SM)
Herakleitos menyatakan
bahwa‘sesungguhnya yang ada, pada hakikat ialah gerak dan perubahan (Pantarhei!
Atau segala sesuatu itu mengalir)“. Ia berpendirian, segala sesuatu itu
‘menjadi’ dan berubah, maka tidak ada satu pun yang mantap. Sebelumnya sudah
dikatakan bahwa sesuatu ‘yang ada’ akan memberikan nilai guna dan manfaat atas
segala fungsinya. Ataukah sesuatu yangbergerak dan perubahan itu juga
mengandung nilai atau nihil.
e.
Parmenides
(540-470 SM)
Parmenides adalah
seorang tokoh dari mazhab Elea. Ia menjadi terkenal dengan pernyataannya “Hanya
‘yang ada’ itu ada”. Parmenides tidak mendefinisikan apa itu ‘yang ada’, tetapi
ia menyebutkan beberapa sifatnya yang meliputi segala sesuatu. ‘Yang ada’ itu
tidak tergoyahkan dan tidak dapat disangkal, dan sesungguhnya ‘yang ada’ akan
memberikan nilai guna dan manfaat atas segala fungsinya.
f.
Demokritos
(460-370 SM)
Demokritos merupakan
salah seorang filsuf atomis, atomis merupakan aliran filsafat yang mengajarkan
bahwa seluruh realitas terdiri atau tercipta dari gugusan unsur-unsur terkecil
yang tidak dapat dibagi lagi. Tentang manusia, Demokritos juga berpendapat
bahwa manusiapun terdiri dari atom-atom halus. Selain itu Demokritos juga
mengajarkan aturan-aturan kehidupan praktis, menurutnya tujuan tertingggi hidup
manusi adalah euthymia, keadaan batin
yang sempurna, yang terdiri dari keseimbangan semua faktor dalam hidup seperti
kesenangan dan kesusahan, kenikmatan dan pantang. Kenikmatan yang dihayati
dalam ketenangan, suatu keadaan yang dianjurkan pertama kali oleh Demokritos sebagai
nilai final.
ZAMAN KLASIK
1.
Sokrates
(470-399 SM)
Filsafat Sokrates
membawa misi agar manusia mengenali dirinya sendiri. Dengan ungkapannya,
‘kenalilah dirimu.. kenalilah dirimu..’. Teriakan Socrates membangunkan
kesadaran manusia untuk terbuka pada kebenaran dan mengenali diri sendiri
sebagai manusia sesungguhnya. Manusia yang merdeka, manusia yang mencintai
kebijaksanaan, dan manusia yang menghargai prinsip hidupnya. Sokrates
beranggapan bahwa nilai itu bersifat tetap dan pasti menuju pada tercapainya
suatu norma, yaitu norma yang bersifat mutlak dan abadi, suatu norma yang
sungguh-sungguh ada dalam arti absolut. Sokrates mencari pengertian-pengertian
mendalam dan sejati dari hakekat universal tidakan moral manusia.
2.
Plato
(427-347 SM)
Plato merupakan murid dari
Sokrates, sehingga filsafatnya sangat dipengaruhi oleh pandangan gurunya. Bagi
Plato nilai-nilai adalah esensi-esensi yang dikenal oleh intuisi, dan termuat
dalam semacam alam hierarkis. Plato membedakan antara nilai-nilai instrumental,
perantara, dan instrinsik. Jika nilai instrumental sebagai nilai alat dan nilai
instrinsik sebagai nilaitujuan, nilai perantara dianggap memiliki kedua
karakteristik tersebut. Kontras instrumental instrinsik adakalanya diistilahkan
sebagai kontras ekstrinsik instrinsik. Jika gurunya, yaitu Sokrates hanya
mendalami tentang moral manusia, Plato mempeluas bidang pencariannya sampai
pada hakekat umum dari segala sesuatu.
Plato juga berhasil
mendamaikan pemikiran dari Herakleitos dan Parmenides. Herakleitos yang beranggapan bahwa segala
sesuatu berubah, Plato mengatakan ‘itu memang benar, tetapi hanya berlaku di
dunia inderawi’. Sedangkan Parmenides yang beranggapan segala sesuatu itu
sempurna, utuh, dan mantap, Plato menjawab ‘itu benar, tetapi berlaku hanya
untuk dunia rasional atau dunia ide-ide’.
Tadi sudah disebutkan
bahwa Plato membagi nilai menjadi nilai instrumental, perantara, dan
instrinsik. Salah satu contoh nilai intrinsik menurut Plato adalah manusia
hendaknya mencapai hidup yang baik (eudaimonia)
atau kebahagiaan. Akal budi lah yang mengatur tentang ‘ide yang baik’ dan menurutnya
akal budi tidak mengarahkan manusia pada ‘yang baik’ saja, akal budi juga
mendorong manusia ke dunia rohani yaitu tentang nilai keadilan.
3.
Aristoteles
(384-324 SM)
Aristoteles merupakan murid
Plato selama 20 tahun. Aristoteles rupanya menganggap nilai bukan sebagai
esensi, sebaliknya ia beranggapan bahwa nilai ditentukan oleh minat atau
kepentingan. Ia mendefinisikan nilai sebagai “objek minat”. Misalnya, dia
menganggap kebahagiaan atau eudaimonia
sebagai nilai semacam itu. Namun begitu dia yakin bahwa komponen-komponen
kebahagiaan berbeda-beda untuk setiap orang, sedangkan dalam setiap kasus
pengembangan kemampuan-kemampuan rasional seseorang mesti terkandung kepenuhan
kebahagiaan. Entah karena pengaruh Aristoteles atau sebab lain, kebahagiaan
dianggap secara luas sebagai nilai final.
Sebagaimana kedua
pendahulunya, yaitu Sokrates dan Plato, Aristoteles juga mengakui bahwa tujuan
terakhir manusia adalah kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia
di satu pihak, apabila sudah bahagia, manusia tidak memerlukan apa-apa.
Kebahagiaan itulah yang baikm dan bernilai pada dirinya sendiri.
4.
Epikuros
(342-271 SM)
Epikuros mengatakan nilai final
kehidupan adalan kebahagiaan hidup adalah kenikmatan. Sesungguhnya tidak jelas
benar apakah kesenangan mau menggantikan kebahagiaan. Yang jelas ia katakan
bahwa kesenangan menyediakan cara pokok mencapai kebahagiaan. Epikuros
mendefinisikan kenikmatan sebagai keadaan negatif, yakni tidak adanya rasa
sakit dan kegelisahan hidup. Akan tetapi, yang jauh lebih utama dari kenikmatan
adalah ketenangan jiwa (ataraxia)
yang diibaratkan seperti tenangnya laut manakala tidak ada angin bertiup.
ZAMAN PERTENGAHAN (ZAMAN SKOLASTIK)
1.
Aurelius
Augustinus (354-430)
Augustinus berkeyakinan
bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang khusus dari Allah.
Menurut ajaran Augustinus budi dapat mencapai kebenaran dan kepastian.
Kebenaran dan kepastian dipaparkan dengan putusan yang tidak berubah. Realitas
itu haruslah rohani dan sumber segala hidup dan berpikir. Realitas itu adalah
Tuhan Sendiri. Nilai yang diutamakan oleh Augustinus adalan nilai spiritual dan
nilai bersifat mutlak.
2.
Ibnu
Sina (980-1037)
Esensi (hakikat)
menurut Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat di luar akal.
Wujudlah yang membuat esensi dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, maka esensi tidak besar artinya,
oleh karena itu wujud lebih penting daripada esensi. Menurut Ibnu Sina Tuhan
menciptakan sesuatu karena adanya keperluan yang rasional. Dunia secara
keseluruhan, ada bukan hanya karena kebetulan, tetapi diberikan oleh Tuhan, ini
merupakan prinsip tentang eksistensi secara singkat.Menurutnya jiwa dalam
keberadaan hakikinya dengan demikian merupakan suatu substansi yang independen
dan adalah diri kita yang transendental. Argumentasi Ibnu Sina tentang
keabadian jiwa itu didasarkan atas pandangan bahwa jiwa merupaka suatu
substansi dan bukan bentuk tubuh. Nilai bisa diartikan dengan wujud, karena
wujudlah yang membuat esensi dalam akal menjadi kenyataan. Kita dapat menilai
sesuatu dari wujudnya.
Wawasan kreatif tentang
pengetahuan dan nilai-nilai diistilahkan oleh Ibnu Sina dengan akal aktif dan
diidentikkan dengan malaikat pembawa wahyu dan sepanjang identitas ini masih
berlaku, akal aktif itu disebut dengan ’aql mustafad (akal yang telah dicapai).
Namun nabi juga manusia yang tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian,
pemberi wahyu dalam satu hal internal dengan nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang
pengertian pemberi wahyu itu adalah manusia, eksternal dengannya.
3.
Thomas
Aquinas (1225-1274)
Thomas Aquinas menerima analisis
Aristoteles, sambil memperluas secara transendental makna istilah itu. Di
samping itu, sebaiknya dicatat bahwa banyak diantara orang-orang yang
mengedepankan suatu nilai lain, menyatakan bahwa nilai itu merupakan jalan yang
paling pasti menuju kebahagiaan. Namun kebahagiaan itu tidak terletak dalam
pengembangan dan penyempurnaan hidup di dunia ini sebagaimana diajarkan oleh
Aristoteles, melainkan jauh melampaui itu, yakni kebahagiaan di alam baka.
Menurutnya nilai etika bukan soal selera senang atau tidak senang, bukan
perkara subjektif melainkan bersifat objektif.
ZAMAN MODERN (ZAMAN PENCERAHAN) DAN
KONTEMPORER
1.
Rene
Descartes (1596-1650)
Rene Descartes sebagai
tokoh lahirnya aliran rasionalisme, memandang bahwa kebenaran ilmu pengetahuan
atau epistemologi harus mengikuti jejak ilmu pasti. Dalam ungkapan lain, segala
gagasan yang kita kenal dari kebiasaan atau pengalaman dan pewarisan, baru
bernilai, jika secara metodis diperkembangkan dari intuisi yang murni atau akal
budi. Descartes menitikberatkan
pemikirannya terhadap rasio, dan rasio inilah faktor penting yang menjembatani
untuk menjelaskan agama dan nilai kebenaran.
2.
Baruch
Spinoza (1632-1677)
Rasionalisme yang lebih
luas dan lebih konsekuen dapat kita temukan dalam pemikiran Baruch Spinoza.
Baginya di alam semesta ini tiada yang bersifat rahasia, karena rasio manusia
telah melingkupi segala sesuatunya. Substansi Spinoza adalah apa yang ada dalam
dirinya sendiri dan yang mendasarkan pengertian mengenai pada dirinya sendiri.
Dimana implikasinya yakni alam dengan segala isinya adalah identik dengan
Allah. Atau sebaliknya, Allah adalah alam itu sendiri yang segala sesuatu dapat
dijangkau oleh rasio/tidak ada substansi yang transenden. Dengan demikian, yang
benar dan bernilai menurut paham rasionalisme adalah apa yang dapat di ukur dan
diurai oleh akal budi. Pengukuran lewat akal budi ini bukanlah sekedar untuk
memunculkan suatu pengetahuan baru, namun untuk mencegah kekeliruan dalam
mengutarakan suatu opini.Spinoza mengedepankan pentingnya kebijaksaan sebagai
nilai sentral dalam kehidupan manusia. Namun jelas sekali kebijaksaan tidak
menggantikan tetapi merupak cara paling pasti menuju kebahagiaan abadi.
3.
John
Locke (1632-1704)
John Locke yang
mempelopori tentang nilai pasar atau sering disebut dengan market value theory. Menurut teori ini, nilai suatu barang
bergantung pada peminatan dan penawaran barang di pasar. Jika penawaran lebih
besar daripada permintaan maka nilai barang akan turun. Sebaliknya jika
permintaan lebih besar daripada penawaran, maka nilai barang akan naik. Istilah
Nilai yang dimaksud oleh John Lock adalah nilai ekonomi. Selain itu, John Lock
juga mengartikan nilai sebagai kebebasan. Contohnya, nilai politik maka yang
dimaksud disini adalah kebebasan dalam berpolitik. John Lock yang merupakan
tokoh Liberalism, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan.
Meskipun begitu, kebebasan yang dimiliki individu adalah kebebasan mutlak,
karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan.
4.
Wilhelm
Leibniz (1646-1716)
Menurut Leibniz nilai
yang meliputi moral dan religius sangatlah penting bagi kehidupan. Menurutnya
keburukan moral adalah dosa atau kejahatan dalam arti yang sesungguhnya. Adanya
kejahatan adalah akibat langsung dari kebebasan manusia yang disalahgunakan.
Pengetahuan manusia menurut Leibniz sudah ada sebagai faktor bawaan kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh pengalaman. Dalam proses menjadi pengetahuan,
rasio menambah isi sehingga menjadi
pengetahuan yang jelas.
5.
David
Hume (1711-1776)
David Hume, sebagai
seorang yang emperistik menolak segala sistem etika yang tidak berdasarkan
fakta-fakta dan pengamatan-pengamatan empiris. Yang dapat kita ketahui hanyalah
apa yang menjadi pengalaman kita, pengalaman inderawi dan pengalaman perasaan.
Hume tidak menerima adanya nilai-nilai mutlak, nilai-nilai yang lepas dari
perasaan, atau nilai-nilai yang mendahului sikap kita. Sesuatu itu bernilai
oleh karena kita tertarik kepadanya, bukan sebaliknya, kita merasa tertarik
kepada sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Oleh karena itu tidak harus
dicari dalam diri sendiri. Pendekatan empiristik Hume itu membawa implikasi
langsung bahwa tidak ada dasar untuk bicara mengenai “keharusan moral”. Yang
dapat kita alami selalu faktual, berupa suatu data, dan tidak pernah suatu
keharusan. Kita dapat melihat atau membaca sesuatu, kita juga dapat merasa
bangga, sedih, gembira atau jijik; tetapi semua itu merupakan fakta dan bukan
keharusan. Bahwa sesuatu yang sangat kita setujui harus kita setujui atau harus
kita usahakan, demikian pula bahwa sesuatu yang kita benci harus kita tolak
atau wajib untuk dihindari. Munculnya kewajiban itu merupakan tambahan yang
tidak termuat dalam pengalaman empiris. Oleh itu bagi Hume, tidak masuk akal
untuk berbicara sebuah kewajiban objektif. Demikian pula tidak ada moral
objektif, tidak ada etika normatif, karena semua itu tidak mempunyai dasar
rasional yakni tidak dapat disandarkan pada pengalaman empiris, oleh karena itu
tidak dapat diketahui.
6.
Immanuel
Kant (1724-1804)
Kant menganggap nilai
sebagai suatu a priori formal.
Immanuel Kant berpendapat bahwa nilai itu adalah kebebasan atau otonomi.
Pandangan Kant tentang nilai adalah didasarkan pada etikanya bebas, yang tidak
bersyarat selain dari syarat priori,
nilai tidak bergantung pada materi, ia murni sebagai nilai tanpa bergantung
pada pengalaman. Tindakan manusia hanya bisa bernilai manakala ia bebas memilih
tindakannya secara sadar tanpa pengaruh dari luar. Tindakan seperti inilah yang
dapat dimintai pertanggung jawaban. Immanuel Kant mengatakan bahwa keindahan
itu merupakan penilaian estetika yang memilki nilai subyektif, dimana
pertimbangan estetika memberikan faktor yang sangat menjembatani segi-segi dan
praktik dari sifat dasar manusia.
7.
Auguste
Comte (1798-1857)
Auguste Comte membagi
perkembangan manusia menjadi tiga tahap, yaitu tahap teotologis, metafisik, dan
positif. Ketiga tahapan ini tidak hanya
berlaku pada perkembangan rohani saja tapi berlaku bagi bidang ilmu
pengetahuan. Kata positif dalam kaitannya dengan objek pengetahuan, adalah
menunjuk kepada sesuatu yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh
akal. Kenenaran bagi positivism Comte selalu bersifat riil dan pragmatik yang
artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung pada
penertiban. Oleh karenanya, dia beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian
tidak bersumber pada otoritas melainkan bersumber terhadap suatu objek secara
inderawi. Dengan demikian Comte menolak keberadaan segala subjek diluar fakta.
Dia mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak definisi yang tidak bisa
digapai oleh pengetahuan manusia termasuk nilai. Menurutnya nilai tidak bisa
digapai dengan akal manusia dan kebenarannya tidak bersifat riil karena
bersifat subjektif. Analisis lain telah menandaskan nilai-nilai sosial sebagai
sentral. Auguste Comte menekankan keteraturan dan kemajuan. Beberapa modifikasi
pandangan Comte muncul dalam adaptasi positivisme Amerika Latin.
8.
Rudolf
Hermann Lotze (1817-1881)
Sebelum masa Rudolf H.
Lotze para filsuf hanya kadang-kadang saja berbicara tentang nilai-nilai. Dan
karena usaha-usahanya soal nilai menjadi perhatian utama filsafat. Sehubungan
dengan nilai, sesungguhnya filsafat selalu bergelut dengannya, tetapi di bawah
aspek baik dan kebaikannya.Lotze membuat perbedaan tajam antara nilai dan
kebaikan.Lotze memandang ide tentang nilai sebagai yang tidak bergantung pada
realitas. Konsepsi ini memungkinkan baginya untuk menggambarkan sebuah kawasan
yang akan terlindungi dan dengan cara ini dikemukakan perbedaan antara ada
(being) dengan nilai (nilai).
9.
F.
Nietzche (1844-1932)
Nietzche menyatakan
perlunya “pengubahan atas nilai”. Nilai ini katanya, diciptakan oleh manusia
menjadi stabil dan berpengaruh hanya untuk waktu yang sementara, tabel nilai
akhirnya digantikan oleh tabel yang lain.Nietzche memandang “kehendak untuk
berkuasa” sebagai hasrat paling dasar. Kehendak untuk berkuasa ini
disublimasikan ke dalam berbagai bentuk nilai, dan menjadi tujuan akhir
manusia.Nietzche yang menerima perlunya suatu “transaksi nilai-nilai”,
kelihatannya menganggap nilai-nilai dibangun maupun ditentukan oleh penilaian
baik dan buruk. Nilai-nilai timbul dalam keadaan amarah dan kekuasaan, tetapi
mampu menciptakan perubahan.
10. Christian von Ehrenfels (1850-1932)
Ehrenfels dan Meinong
merupakan tokoh yang pertama-tama memperjuangkan subjektivisme, adalah murid
dari Franz Brentano (1837-1917) di Universitas Wina. Ehrenfels tidak memiliki
orientasi yang subjektivis, Meinonglah yang pertama-tama memberikan jawaban
yang subjektivistis terhadap persoalan tentang hakikat nilai. Antara Ehrenfels
dan Meinong saling melakukan diskusi dengan karya-kaeya mereka yang sempat
menjadi polemik. Nilai benar-benar merupakan subjektif alam emosional kita,
namun mengacau pada objek yang dipertahankan dengan menggunakan keputusan
eksistensial.
Ehrenfels mengegaskan
bahwa tesis Meinong memiliki banyak kelemahan. Jika satu objek bernilai kalau
ia dapat menghasilkan rasa nikmat pada diri kita, maka hanya benda yang ada
yang akan bernilai. Yang benar adalah, kita menilai apa yang kita eksis,
keadailan yang sempurna, kebaikan moral yang tidak pernah menjadi riel. Karena
alasan inilah, Ehrenfels tidak berpikir bahwa dasar nilai dapat ditemukan dalam
sensai kenikamatan atau kecocokan, namun agaknya orang haris mencarinya di
dalam kawasan nafsu atau hasrat. Segala sesuatu yang kita hasrati atau kita
dambakan adalah bernilai, dan semua itu demikian karena kita menghasrati atau
mendambakannya.
11. Meinong (1853-1921)
Meinong adalah orang
pertama yang menyatakan penafsiran subjektivistis terhadap nilai, dalam
karyanya yang berjudul “Psychological-ethical
Inquiry into a Theory of Value”. Namun Meinong bukan orang pertama yang
menaruh perhatian pada nilai, orang yang pertama adalah Adam Smith (1723-1790),
tapi perhatiannya terhadap nilai hanya terbatas pada bidang ekonomi dan politik.
Meinong mencari kunci permasalahan nilai dalam ranah psikologi, serta percaya
bahwa persoalan nilai berakar dalam kehidupan emosional. Meinong berkata,
“Sesuatu itu memiliki nilai manakala ia menyenangkan kita dan sejauh mana ia
menyenangkan kita”.
Meinong menulis, “objek
itu memiliki nilai sejauh ia memiliki kemampuan untuk memberikan dasar efektif
bagi sentimen nilai”. Kemudian Ehrenfels memberikan komentar atas tesis yang
dikeluarkan oleh Meinong.Meinong memahami nilai sebagai sesuatu yang muncul
sebagai tanggapan afektif manusia terhadap dunia melalui empat tipe perasaan
nilai.
12. John Dewey (1859-1952)
John Dewey, dengan
konsepnya mengenai kontinum alat tujuan menganggap semua nilai bertipe antara
ektrinsik-instrinsik. John Dewey yang dipandang sebagai naturalis dalam teori
nilai, percaya bahwa nilai-nilai ditemukan dalam pengalaman. Tapi Dewey
menekankan valuasi (penilaian) dan bukan nilai-nilai yang menemukan kunci
penilaian dalam proses “penghargaan” dan “penilaian”.
13. Alejandro Korn (1860-1936)
Alejandro Korn
membedakan sembilai tipe nilai: ekonomi, naluriah, erotik, vital, sosial,
religius, etis, logis, dan estetik. Tiap tipe memiliki kutub nilainya sendiri.
Kutub dua yang pertama, misalnya ialah “berguna sia-sia” dan
“disetujui-dicela”. Tiap tipe juga mempunyai sistemnya sendiri. Sistem-sistem
untuk dua tipe yang pertama adalah utilitarianisme dan hedonisme.
14. George Edward Moore (1873-1958)
Teori nilai berdasar pada intuisi dirintis kurang
jelas oleh Sidgwick, dikembangkan dan dipertahankan oleh G.E. Moore. Menurutnya
kebahagiaan tidak dapat dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual
diletakkan pada suatu tindakan atau suatu objek walaupun bersifat intuitif dan
tidak dapat direvikasi. Menurut Moore, sebelum mengetahui “the good” (sesuatu
yang “baik”) perlu terlebih dahulu memahami “good” (“baik”). Karena “good” akan
membentuk “the good”. Inilah pendekatan awal dalam filsafat etika Moore. Para
filosof banyak mengkaji etika dan mencoba memberikan pejelasan baik dan buruk
akan sesuatu, namun tidak memberikan pemahaman akan “baik” itu sendiri. Yang
ada malah justru mengakait-kaitkan nilai normatif dengan realitas adanya “yang
baik” dalam kehidupan sehari-hari.
Maka prinsip suatu tindakan dinilai baik adalah
kalau tindakan itu menyenangkan atau berguna bagi kita atau banyak orang. Moore
menegaskan bahwa penilaian moral, jadi penilaian apakah dan sejauh mana sesuatu
itu baik atau buruk, bersifat seratus persen objektif dalam arti bahwa
penilaian itu tidak tergantung dari selera, perasaan atau insting orang yang
menilai.
15. Max Scheler (1874-1928)
Scheler menemukan suatu
hierarki tipe-tipe nilai yang terdiri atas nilai inderawi, kehidupan, rohani,
dan religius dalam urutan yang unik. Scheler menyatakan bahwa nilai adalah hal
yang dituju manusia. Jika ada orang yang mengejar kenikmatan, maka hal itu
bukan demi kepuasan perasaan, melainkan karena kenikmatan dipandang sebagai
suatu nilai. Berbeda dengan Immanuel Kant, nilai menurut Max Scheler tidak
bersifat relatif, melainkan bersifta mutlak atau objektif. Nilai bukan ide atau
cita-cita, melainkan sesuatu yang kongkret yang hanya dapat dialami dengan jiwa
yang bergetar dan dengan emosi. Mas Scheler telah membedakan dengan jelas
antara nilai dan hal yang bernilai. Nilai adalah kualitas yang membuat suatu
hal menjadi hal yang bernilai, sedangkan hal yang bernilai merupakan suatu hal
yang membawa kualitas nilai.Max Scheler maupun Nicolai Hartmann mengetengahkan
bahwa nilai adalah esensi non temporal dan hierarkis sifatnya.
Max Scheler berpendapat,
bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawanya,
merupakan kualitas apriori, yang telah dirasakan manusia tanpa harus melewati
pengalaman inderawi lebih dahulu. Tidak tergantungnya kualitas tersebut tidak
hanya pada objek yang ada di dunia ini seperti lukisan, patung, tindakan
manusia dan lain-lain, melainkan juga tidak tergantung pada reaksi kita
terhadap kualitas tersebut. Nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung, dan
tidak berubah seiring dengan perubahan barang. Sebagaimana warna merah tidak
berubah menjadi biru ketika suatu objek dicat menjadi merah. Demikian pula
nilai tetap tidak berubah oleh perubahan yang terjadi pada objek yang memuat
nilai yang bersangkutan. Nilai bersifat absolut, tidak dipersyaratkan oleh
suatu tindakan, tidak memandang keberadaan alamaiahnya, baik secara historis,
sosial, biologis ataupun individu murni. Scheler juga menolak ketergantungan
nilai pada realitas kehidupan. Bagi Scheler nilai adalah hal yang dituju oleh
perasaan, maka tidaklah benar jika dikatakan bahwa manusia berusaha memperoleh
kenikmatan atau kepuasan perasaan. Sebab yang diusahakan manusia adalah nilai.
Maka bila manusia bermaksud mendapatkan kenikmatan, hal itu bukan untuk
kepuasan perasaan, melainkan karena kenikmatan itu dipandang sebagai suatu
nilai.
16. Ralp Barton Perry (1876-1957)
Perry mensinyalir bahwa apapun objek yang ada dalam
realitas maupun dalam pikiran, apapun tindakan yang terjawantah maupun
dipikirkan bisa memperoleh nilai bila ada jalinan intersubyektivitas atau
individu yang berkepentingan. Dikatakan benar jika nilai berhubungan dengan
kepentingan. Perry menempatkan nilai sebagai kepentingan yang dideterminasikan
oleh manusia sebagai subjek maka awal persoalan jelas menghadang di depan mata.
Dalam karyanya yang besar tentang nilai, dia
mengesampingkan objektivis dan mencari asal mula dan dasar nilai di dalam
subjek yang terlibat dalam proses penilaian.Perry mengklasifikasikan nilai ke
dalam delapan tipe, yang terkadang dinamakan dunia nilai. Nilai-nilai itu
sebagai moral, estetik, ilmiah, religius, ekonomi, politis, legal, dan adat
istiadat.
17. Nicolai Hartmann (1882-1950)
Nilai adalah esensi, sebagai ide dari Platonik.
Nilai harus dicari bersama objek ideal. Nilai selalu berhubungan dengan benda
yang menjadi pendukungnya, misalnya indah dengan kain dan baik dengan perilaku.
Artinya, bahwa nilai itu tidak nyata. Dan ini berarti juga bahwa pertimbangan
nilai seseorang bergantung kepada fakta.Menurut Nicolai nilai-nilai dalam arti
ini dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada
dunia nyata hanya dengan peralatan manusia, pandangan ini pantas dinamakan
teori “idealisme nilai”. Lawan “idealisme nilai” adalah realisme nilai atau
lebih baik disebut dengan metafisika nilai yang mengatasi pemisahan nilai yang
ada
18. Jean Paul Sartre (1905-1980)
Sartre berpandangan bahwa nilai merupakan rekaan
manusia dalam situasi kehidupannya. Nilai bukan esensi dan tidak dapat dibenarkan
secara rasional. Sartre menyatakan eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi.
Artinya, manusia akan memiliki esensi jika ia telah eksis terlebih dahulu dan
esensinya itu akan muncul ketika manusia itu mati. Dengan kata lain, manusia
tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil
kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa lalu. Karena itu, menurut Sartre
satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia.
Dari
penjabaran tentang konsep nilai diatas dapat disimpulkan konsep nilai dalam
tiga ketegori besar, yaitu sebagai berikut:
1. Harkat.
Kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna,
atau dapat menjadi objek kepentingan.
2. Keistimewaan.
Apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai sebagai suatu kebaikan. Lawan
dari suatu nilai positif adalah “tidak bernilai” atau “nilai negatif”. Baik
akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan menjadi suatu “nilai
negatif” atau “tidak bernilai”.
3. Nilai
dalam bidang ilmu ekonomi, yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar
benda-benda material, pertama kali menggunakan secara umum kata “nilai”.
Konsep nilai merupakan komplemen dan
sekaligus lawan konsep fakta. Kita memang hanya mengetahui fakta, tetapi mesti
mencari nilai. Karena apapun, sikap apapun, ideal mana saja, maksud mana pun,
atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai, maka nilai mesti merupakan objek
preferensi atau penilaian kepentingan.
Nilai dan Non Nilai
Oposisi
antara nilai dan non nilai dan prioritas nilai atas nilai lain merupakan
aspek-aspek dari soal nilai seluruhnya. Nilai didasarkan atas tatanan yang ada
dan kegiatan insani yang diukur oleh nilai. Penyimpangan dari tatanan yang ada
berarti non nilai dan ini akhirnya mengarah kepada kesalahan moral. Sehubungan
dengan prioritas satu nilai atas nilai lainnya, derajat nilai bertautan dengan
derajat yang ada. Pada bidang yang lebih resmi, dibuat perbedaan antara nilai
pribadi, nilai kesenangan, dan nilai kegunaan. Nilai pribadi dicari demi
kepentingan nilai itu sendiri. Nilai kesenangan tergantung pada nilai pribadi
sejauh nilai kesenangan ditata ke arah nilai pribadi dan tatkala dimiliki nilai
itu menghasilkan kebahagiaan. Nilai kegunaan membantu nilai pribadi sebagai
alat menuju tujuan. Nilai pribadi memperlihatkan langkah-langkah berikut dengan
urutan naik: ekonomi, fisik, rohani (yang benar, yang indah, yang baik secara
moral), nilai-nilai religius. Urutan prioritas ini didasarkan atas tatanan yang
ada dimana nilai-nilai religius menduduki tempat tertinggi. Karena, nilai-nilai
religius langsung berkaitan dengan kebaikan tidak terbatas (Allah).
Teori Nilai
1. Teori
Objektivitas Nilai.
Terdapat beberapa
pengertian, yaitu:
a. Teori
objektivitas nilai adalah teori yang menyatakan bahwa nilai-nilai seperti
kebakan, kebenaran, keindahan, ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan
sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan nyata dalam bentuk
(rupa) yang sama sebagaimana kita dapat menemuka objek-objek,
kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja merah.
b. Teori
objektivitas nilai adalah pandangan yang menyatakan bahwa nilai-nilai adalah
objektif dala arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat
dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi itu.
2. Teori
Relativisme Nilai
Relativitas nilai
adalah pandangan bahwa a) nilai-nilai bersifat relatif dan berhubungan dengan
preferensi (sikap, keinginan, selera, kecenderungan), b) bahwa nilai-nilai
berbeda dari suatu kebudayaan kebudayaan lain, c) bahwa penilaian, seperti
benar/ salah, baik/ benar, d) bahwa tidak ada nilai-nilai universal, mutlak,
dan objektif manapun yang dapat diterapkan pada semua orang pada segala waktu.
3. Teori
Subjektivitas Nilai
Subjektivitas nilai
adalah pandang bahwa nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, tidak
ada dalam dunia real objektif tetapi merupakan perasaan-perasaan, sikap-sikap
pribadi, dan merupakan penafsiran atas kenyataan.
Daftar Pustaka
Boyer, Carl B. (1991).
A history of mathematics. NY, USA:
John Wiley & Sons.
Burton.
(2006). The history of mathematics: an
intoduction, sixth edition. USA: The McGraw-Hill, Inc.
Detmer, David. (1988).
Freedom as a value: a critique of the ethical
theory of Jean-Paul Sartre. USA: Patent and Trademark Office.
Frondizi,
Risieri. (2011). Pengantar filsafat nilai.
(Terjemahan Cuk Ananta Wijaya). Open Court Publishing. (Buku asli diterbitkan
tahun 1963)
Haza’a, Salah
Kaduri., Dyastriningrum Subandiati, dan Ibnu Ngatoilah. (2004). Sejarah matematika klasik dan modern.
Yogyakarta: UAD Press.
Hickman,
Larry A & Thomas M. Alexander. (1998). The
essential dewey: etnics, logic, psychology. USA: Indiana University Press.
Nata,
Abuddin. (2005). Filsafat pendidikan
islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.Saefullah, Djaja. 2004. Pengantar filsafat. Bandung: Refika
Aditama.
Ravert, Jerome
R. (2009). Filsafat ilmu sejarah dan ruang
lingkup bahasan. (Terjemahan Saut Pasaribu). England: Oxford University
Press. (Buku asli diterbitkan tahun 1982)
Smith, Karl J.
(2012). The nature of mathematics 12th
edition. USA: Brooks/ Cole Cengange.
Tjahjadi, Simon
Petrus L. (2004). Petualangan intelektual.
Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar