Kamis, 23 Juni 2016

Tugas 2 "Nilai"


PENDAHULUAN
 

Nilai dalam bahasa inggris disebut denganvalue, sedangkan menurut bahasa Latin nilai disebut denganvalere yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, kuat. Berdasarkan pengertian di atas, konsep tentang nilai sebenarnya sudah lahir sejak awal mula manusia itu ada (sejak zaman Nabi Adam AS). Pada zaman itu, konsep tentang nilai sudah mulai ada walaupun pada zaman itu belum ada ketetapan hukum yang berlaku. Contohnya, ketika anak Nabi Adam yang bernama Qobil membunuh saudaranya sendiri yang bernama Habil. Setelah dia membunuh saudaranya, dia merasa bingung untuk melakukan apa ke jazad saudanya itu. Kemudian, Qobil tersadar bahwa perbuatan membunuh itu tidak baik ketika dia melihat burung gagak yang sedang bertarung dan salah satu burung gagak itu juga mati. Setelah melihat burung gagak itu mengubur temannya, Qobil pun akhirnya mengubur jazad saudaranya itu. Dia sadar bahwa membunuh itu bukan perbuatan baik walaupun pada zaman itu hukum belum berlaku.Ini juga bisa dikategorikan sebagai pemahanan tentang nilai, yang lebih khususnya nilai moral, atau naluri alamiah dari manusia yang cenderung ke arah normatif dan spiritual.
Setelah perkembangan peradaban manusiamenjadi zaman prasejarah, zaman klasik, zaman pertengahan (skolastik), zaman modern, zaman postmodern terdapat beberapa filsuf yang membahas tentang nilai yang berbeda dan arti nilai itu sendiri semakin luas dibandingkan dengan pengertian nilai pada zaman Nabi Adam. Berikut penjabarannya nilai menurut pendapat beberapa filsuf di zaman yang berbeda:

ZAMAN PRASEJARAH
1.      Zaman Babilonia (3500 SM)
Berbeda dengan pada zaman Nabi Adam, nilai pada zaman Babilonia ini lebih ke arah material dan formal. Pada zaman Babilonia nilai disini untuk menunjukkan suatu sistem angka. Matematika berawal dari berhitung, dan dengan catatan perhitungan maka berarti terdapat pernyataan tentang bilangan. Sistem tentang bilangan atau angka ini yang disebut dengan nilai atau suatu sistem bilangan notasi nilai.  Sistem notasi nilai yang berkembang pada zaman Babilonia adalah bilangan berbasis 60. Sistem notasi nilai ini mampu menampilkan bilangan pecahan dan terbukti menjadi dasar perkembanan bilangan matematika dengan order yang lebih tinggi.
2.      Zaman Mesir Kuno (3000 SM)
Nilai pada zaman mesir kuno memiliki arti yang sama pada zaman babilonia, yaitu sistem suatu bilangan. Sistem bilangan zaman mesir kuno memiliki basis 10 sistem hieroglyphs.  Selain itu, sistem bilangan yang digunakan disusun oleh bilangan hieratik. Bilangan hieratik tidak membentuk suatu sistem posisional sehingga nilai angka-angka tertentu dapat dituliskan dalam banyak susunan. Dengan sistem nilai angka ini dapat dibentuk dari sedikit simbol.
3.      Zaman Yunani
a.      Thales (624-546 SM)
Sebagai bapak filsafat kelahiran Miletus negara bagian Yunani, pertama ia mengajukan sebuah pertanyaan yang relevan dengan ada dan Ada (pengada pertama) yaitu“What is the nature of world stuf“? (apa sebenarnya bahan alam semesta itu?). Pertanyaan ini ditemukan jawabanya oleh Thales bahwa bahan atau sesuatu itu adalah “air”. Secara aksiologis apakah air mempunyai nilai objektif atau subjektif. Mungkinkah air bernilai meskipun tanpa epistemologi dan ontolonginya? Atau apakah air termasuk kategorisasi nilai atau tidak bernilai?
 b.      Anaximandros (611-546 SM)
Anaximandros yang merupakan murid dari Thales, berpendapat lain. Ia mengatakan bahwa prisnsip segala sesuatu bukanlah anasir alam yang konkret seperti air. Sebab, seandainya air sebagai unsur basah merupakan prinsip segala sesuatu maka seharusnya api juga merupak prinsip segala sesuatu. Air sebagai prinsip segala sesuatu menjadi tidak bernilai.
c.       Pythagoras (570-495 SM)
Pythagoras dikenal sebagai “Bapak Bilangan” yang merupakan salah satu filsuf Yunani yang paling dikenal melalui teoremanya. Dalam pendekatan Pythagoras, nilai diidentikkan dengan bilangan. Misalnya, “7” adalah kesehatan dan bilangan kuadrat adalah keadilan. Dalam pendekatan lain dinyatakkan bahwa nilai muncul dalam konflik.
d.      Herakleitos (550-480 SM)
Herakleitos menyatakan bahwa‘sesungguhnya yang ada, pada hakikat ialah gerak dan perubahan (Pantarhei! Atau segala sesuatu itu mengalir)“. Ia berpendirian, segala sesuatu itu ‘menjadi’ dan berubah, maka tidak ada satu pun yang mantap. Sebelumnya sudah dikatakan bahwa sesuatu ‘yang ada’ akan memberikan nilai guna dan manfaat atas segala fungsinya. Ataukah sesuatu yangbergerak dan perubahan itu juga mengandung nilai atau nihil.
e.       Parmenides (540-470 SM)
Parmenides adalah seorang tokoh dari mazhab Elea. Ia menjadi terkenal dengan pernyataannya “Hanya ‘yang ada’ itu ada”. Parmenides tidak mendefinisikan apa itu ‘yang ada’, tetapi ia menyebutkan beberapa sifatnya yang meliputi segala sesuatu. ‘Yang ada’ itu tidak tergoyahkan dan tidak dapat disangkal, dan sesungguhnya ‘yang ada’ akan memberikan nilai guna dan manfaat atas segala fungsinya.
f.       Demokritos (460-370 SM)
Demokritos merupakan salah seorang filsuf atomis, atomis merupakan aliran filsafat yang mengajarkan bahwa seluruh realitas terdiri atau tercipta dari gugusan unsur-unsur terkecil yang tidak dapat dibagi lagi. Tentang manusia, Demokritos juga berpendapat bahwa manusiapun terdiri dari atom-atom halus. Selain itu Demokritos juga mengajarkan aturan-aturan kehidupan praktis, menurutnya tujuan tertingggi hidup manusi adalah euthymia, keadaan batin yang sempurna, yang terdiri dari keseimbangan semua faktor dalam hidup seperti kesenangan dan kesusahan, kenikmatan dan pantang. Kenikmatan yang dihayati dalam ketenangan, suatu keadaan yang dianjurkan pertama kali oleh Demokritos sebagai nilai final.

ZAMAN KLASIK
1.      Sokrates (470-399 SM)
Filsafat Sokrates membawa misi agar manusia mengenali dirinya sendiri. Dengan ungkapannya, ‘kenalilah dirimu.. kenalilah dirimu..’. Teriakan Socrates membangunkan kesadaran manusia untuk terbuka pada kebenaran dan mengenali diri sendiri sebagai manusia sesungguhnya. Manusia yang merdeka, manusia yang mencintai kebijaksanaan, dan manusia yang menghargai prinsip hidupnya. Sokrates beranggapan bahwa nilai itu bersifat tetap dan pasti menuju pada tercapainya suatu norma, yaitu norma yang bersifat mutlak dan abadi, suatu norma yang sungguh-sungguh ada dalam arti absolut. Sokrates mencari pengertian-pengertian mendalam dan sejati dari hakekat universal tidakan moral manusia.
 2.      Plato (427-347 SM)
Plato merupakan murid dari Sokrates, sehingga filsafatnya sangat dipengaruhi oleh pandangan gurunya. Bagi Plato nilai-nilai adalah esensi-esensi yang dikenal oleh intuisi, dan termuat dalam semacam alam hierarkis. Plato membedakan antara nilai-nilai instrumental, perantara, dan instrinsik. Jika nilai instrumental sebagai nilai alat dan nilai instrinsik sebagai nilaitujuan, nilai perantara dianggap memiliki kedua karakteristik tersebut. Kontras instrumental instrinsik adakalanya diistilahkan sebagai kontras ekstrinsik instrinsik. Jika gurunya, yaitu Sokrates hanya mendalami tentang moral manusia, Plato mempeluas bidang pencariannya sampai pada hakekat umum dari segala sesuatu.
Plato juga berhasil mendamaikan pemikiran dari Herakleitos dan Parmenides.  Herakleitos yang beranggapan bahwa segala sesuatu berubah, Plato mengatakan ‘itu memang benar, tetapi hanya berlaku di dunia inderawi’. Sedangkan Parmenides yang beranggapan segala sesuatu itu sempurna, utuh, dan mantap, Plato menjawab ‘itu benar, tetapi berlaku hanya untuk dunia rasional atau dunia ide-ide’.
Tadi sudah disebutkan bahwa Plato membagi nilai menjadi nilai instrumental, perantara, dan instrinsik. Salah satu contoh nilai intrinsik menurut Plato adalah manusia hendaknya mencapai hidup yang baik (eudaimonia) atau kebahagiaan. Akal budi lah yang mengatur tentang ‘ide yang baik’ dan menurutnya akal budi tidak mengarahkan manusia pada ‘yang baik’ saja, akal budi juga mendorong manusia ke dunia rohani yaitu tentang nilai keadilan.
3.      Aristoteles (384-324 SM)
Aristoteles merupakan murid Plato selama 20 tahun. Aristoteles rupanya menganggap nilai bukan sebagai esensi, sebaliknya ia beranggapan bahwa nilai ditentukan oleh minat atau kepentingan. Ia mendefinisikan nilai sebagai “objek minat”. Misalnya, dia menganggap kebahagiaan atau eudaimonia sebagai nilai semacam itu. Namun begitu dia yakin bahwa komponen-komponen kebahagiaan berbeda-beda untuk setiap orang, sedangkan dalam setiap kasus pengembangan kemampuan-kemampuan rasional seseorang mesti terkandung kepenuhan kebahagiaan. Entah karena pengaruh Aristoteles atau sebab lain, kebahagiaan dianggap secara luas sebagai nilai final.
Sebagaimana kedua pendahulunya, yaitu Sokrates dan Plato, Aristoteles juga mengakui bahwa tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia di satu pihak, apabila sudah bahagia, manusia tidak memerlukan apa-apa. Kebahagiaan itulah yang baikm dan bernilai pada dirinya sendiri.
4.      Epikuros (342-271 SM)
Epikuros mengatakan nilai final kehidupan adalan kebahagiaan hidup adalah kenikmatan. Sesungguhnya tidak jelas benar apakah kesenangan mau menggantikan kebahagiaan. Yang jelas ia katakan bahwa kesenangan menyediakan cara pokok mencapai kebahagiaan. Epikuros mendefinisikan kenikmatan sebagai keadaan negatif, yakni tidak adanya rasa sakit dan kegelisahan hidup. Akan tetapi, yang jauh lebih utama dari kenikmatan adalah ketenangan jiwa (ataraxia) yang diibaratkan seperti tenangnya laut manakala tidak ada angin bertiup.


ZAMAN PERTENGAHAN (ZAMAN SKOLASTIK)
1.      Aurelius Augustinus (354-430)
Augustinus berkeyakinan bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang khusus dari Allah. Menurut ajaran Augustinus budi dapat mencapai kebenaran dan kepastian. Kebenaran dan kepastian dipaparkan dengan putusan yang tidak berubah. Realitas itu haruslah rohani dan sumber segala hidup dan berpikir. Realitas itu adalah Tuhan Sendiri. Nilai yang diutamakan oleh Augustinus adalan nilai spiritual dan nilai bersifat mutlak.
2.      Ibnu Sina (980-1037)
Esensi (hakikat) menurut Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat esensi dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal.  Tanpa wujud, maka esensi tidak besar artinya, oleh karena itu wujud lebih penting daripada esensi. Menurut Ibnu Sina Tuhan menciptakan sesuatu karena adanya keperluan yang rasional. Dunia secara keseluruhan, ada bukan hanya karena kebetulan, tetapi diberikan oleh Tuhan, ini merupakan prinsip tentang eksistensi secara singkat.Menurutnya jiwa dalam keberadaan hakikinya dengan demikian merupakan suatu substansi yang independen dan adalah diri kita yang transendental. Argumentasi Ibnu Sina tentang keabadian jiwa itu didasarkan atas pandangan bahwa jiwa merupaka suatu substansi dan bukan bentuk tubuh. Nilai bisa diartikan dengan wujud, karena wujudlah yang membuat esensi dalam akal menjadi kenyataan. Kita dapat menilai sesuatu dari wujudnya.
Wawasan kreatif tentang pengetahuan dan nilai-nilai diistilahkan oleh Ibnu Sina dengan akal aktif dan diidentikkan dengan malaikat pembawa wahyu dan sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut dengan ’aql mustafad (akal yang telah dicapai). Namun nabi juga manusia yang tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu hal internal dengan nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang pengertian pemberi wahyu itu adalah manusia, eksternal dengannya.
3.      Thomas Aquinas (1225-1274)
Thomas Aquinas menerima analisis Aristoteles, sambil memperluas secara transendental makna istilah itu. Di samping itu, sebaiknya dicatat bahwa banyak diantara orang-orang yang mengedepankan suatu nilai lain, menyatakan bahwa nilai itu merupakan jalan yang paling pasti menuju kebahagiaan. Namun kebahagiaan itu tidak terletak dalam pengembangan dan penyempurnaan hidup di dunia ini sebagaimana diajarkan oleh Aristoteles, melainkan jauh melampaui itu, yakni kebahagiaan di alam baka. Menurutnya nilai etika bukan soal selera senang atau tidak senang, bukan perkara subjektif melainkan bersifat objektif.

ZAMAN MODERN (ZAMAN PENCERAHAN) DAN KONTEMPORER
1.      Rene Descartes (1596-1650)
Rene Descartes sebagai tokoh lahirnya aliran rasionalisme, memandang bahwa kebenaran ilmu pengetahuan atau epistemologi harus mengikuti jejak ilmu pasti. Dalam ungkapan lain, segala gagasan yang kita kenal dari kebiasaan atau pengalaman dan pewarisan, baru bernilai, jika secara metodis diperkembangkan dari intuisi yang murni atau akal budi.  Descartes menitikberatkan pemikirannya terhadap rasio, dan rasio inilah faktor penting yang menjembatani untuk menjelaskan agama dan nilai kebenaran.
2.      Baruch Spinoza (1632-1677)
Rasionalisme yang lebih luas dan lebih konsekuen dapat kita temukan dalam pemikiran Baruch Spinoza. Baginya di alam semesta ini tiada yang bersifat rahasia, karena rasio manusia telah melingkupi segala sesuatunya. Substansi Spinoza adalah apa yang ada dalam dirinya sendiri dan yang mendasarkan pengertian mengenai pada dirinya sendiri. Dimana implikasinya yakni alam dengan segala isinya adalah identik dengan Allah. Atau sebaliknya, Allah adalah alam itu sendiri yang segala sesuatu dapat dijangkau oleh rasio/tidak ada substansi yang transenden. Dengan demikian, yang benar dan bernilai menurut paham rasionalisme adalah apa yang dapat di ukur dan diurai oleh akal budi. Pengukuran lewat akal budi ini bukanlah sekedar untuk memunculkan suatu pengetahuan baru, namun untuk mencegah kekeliruan dalam mengutarakan suatu opini.Spinoza mengedepankan pentingnya kebijaksaan sebagai nilai sentral dalam kehidupan manusia. Namun jelas sekali kebijaksaan tidak menggantikan tetapi merupak cara paling pasti menuju kebahagiaan abadi.
3.      John Locke (1632-1704)
John Locke yang mempelopori tentang nilai pasar atau sering disebut dengan market value theory. Menurut teori ini, nilai suatu barang bergantung pada peminatan dan penawaran barang di pasar. Jika penawaran lebih besar daripada permintaan maka nilai barang akan turun. Sebaliknya jika permintaan lebih besar daripada penawaran, maka nilai barang akan naik. Istilah Nilai yang dimaksud oleh John Lock adalah nilai ekonomi. Selain itu, John Lock juga mengartikan nilai sebagai kebebasan. Contohnya, nilai politik maka yang dimaksud disini adalah kebebasan dalam berpolitik. John Lock yang merupakan tokoh Liberalism, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. Meskipun begitu, kebebasan yang dimiliki individu adalah kebebasan mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan.
4.      Wilhelm Leibniz (1646-1716)
Menurut Leibniz nilai yang meliputi moral dan religius sangatlah penting bagi kehidupan. Menurutnya keburukan moral adalah dosa atau kejahatan dalam arti yang sesungguhnya. Adanya kejahatan adalah akibat langsung dari kebebasan manusia yang disalahgunakan. Pengetahuan manusia menurut Leibniz sudah ada sebagai faktor bawaan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh pengalaman. Dalam proses menjadi pengetahuan, rasio  menambah isi sehingga menjadi pengetahuan yang jelas.
5.      David Hume (1711-1776)
David Hume, sebagai seorang yang emperistik menolak segala sistem etika yang tidak berdasarkan fakta-fakta dan pengamatan-pengamatan empiris. Yang dapat kita ketahui hanyalah apa yang menjadi pengalaman kita, pengalaman inderawi dan pengalaman perasaan. Hume tidak menerima adanya nilai-nilai mutlak, nilai-nilai yang lepas dari perasaan, atau nilai-nilai yang mendahului sikap kita. Sesuatu itu bernilai oleh karena kita tertarik kepadanya, bukan sebaliknya, kita merasa tertarik kepada sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Oleh karena itu tidak harus dicari dalam diri sendiri. Pendekatan empiristik Hume itu membawa implikasi langsung bahwa tidak ada dasar untuk bicara mengenai “keharusan moral”. Yang dapat kita alami selalu faktual, berupa suatu data, dan tidak pernah suatu keharusan. Kita dapat melihat atau membaca sesuatu, kita juga dapat merasa bangga, sedih, gembira atau jijik; tetapi semua itu merupakan fakta dan bukan keharusan. Bahwa sesuatu yang sangat kita setujui harus kita setujui atau harus kita usahakan, demikian pula bahwa sesuatu yang kita benci harus kita tolak atau wajib untuk dihindari. Munculnya kewajiban itu merupakan tambahan yang tidak termuat dalam pengalaman empiris. Oleh itu bagi Hume, tidak masuk akal untuk berbicara sebuah kewajiban objektif. Demikian pula tidak ada moral objektif, tidak ada etika normatif, karena semua itu tidak mempunyai dasar rasional yakni tidak dapat disandarkan pada pengalaman empiris, oleh karena itu tidak dapat diketahui.
6.      Immanuel Kant (1724-1804)
Kant menganggap nilai sebagai suatu a priori formal. Immanuel Kant berpendapat bahwa nilai itu adalah kebebasan atau otonomi. Pandangan Kant tentang nilai adalah didasarkan pada etikanya bebas, yang tidak bersyarat selain dari syarat priori, nilai tidak bergantung pada materi, ia murni sebagai nilai tanpa bergantung pada pengalaman. Tindakan manusia hanya bisa bernilai manakala ia bebas memilih tindakannya secara sadar tanpa pengaruh dari luar. Tindakan seperti inilah yang dapat dimintai pertanggung jawaban. Immanuel Kant mengatakan bahwa keindahan itu merupakan penilaian estetika yang memilki nilai subyektif, dimana pertimbangan estetika memberikan faktor yang sangat menjembatani segi-segi dan praktik dari sifat dasar manusia.
7.      Auguste Comte (1798-1857)
Auguste Comte membagi perkembangan manusia menjadi tiga tahap, yaitu tahap teotologis, metafisik, dan positif.  Ketiga tahapan ini tidak hanya berlaku pada perkembangan rohani saja tapi berlaku bagi bidang ilmu pengetahuan. Kata positif dalam kaitannya dengan objek pengetahuan, adalah menunjuk kepada sesuatu yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Kenenaran bagi positivism Comte selalu bersifat riil dan pragmatik yang artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung pada penertiban. Oleh karenanya, dia beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian tidak bersumber pada otoritas melainkan bersumber terhadap suatu objek secara inderawi. Dengan demikian Comte menolak keberadaan segala subjek diluar fakta. Dia mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia termasuk nilai. Menurutnya nilai tidak bisa digapai dengan akal manusia dan kebenarannya tidak bersifat riil karena bersifat subjektif. Analisis lain telah menandaskan nilai-nilai sosial sebagai sentral. Auguste Comte menekankan keteraturan dan kemajuan. Beberapa modifikasi pandangan Comte muncul dalam adaptasi positivisme Amerika Latin.
8.      Rudolf Hermann Lotze (1817-1881)
Sebelum masa Rudolf H. Lotze para filsuf hanya kadang-kadang saja berbicara tentang nilai-nilai. Dan karena usaha-usahanya soal nilai menjadi perhatian utama filsafat. Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat selalu bergelut dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya.Lotze membuat perbedaan tajam antara nilai dan kebaikan.Lotze memandang ide tentang nilai sebagai yang tidak bergantung pada realitas. Konsepsi ini memungkinkan baginya untuk menggambarkan sebuah kawasan yang akan terlindungi dan dengan cara ini dikemukakan perbedaan antara ada (being) dengan nilai (nilai).
9.      F. Nietzche (1844-1932)
Nietzche menyatakan perlunya “pengubahan atas nilai”. Nilai ini katanya, diciptakan oleh manusia menjadi stabil dan berpengaruh hanya untuk waktu yang sementara, tabel nilai akhirnya digantikan oleh tabel yang lain.Nietzche memandang “kehendak untuk berkuasa” sebagai hasrat paling dasar. Kehendak untuk berkuasa ini disublimasikan ke dalam berbagai bentuk nilai, dan menjadi tujuan akhir manusia.Nietzche yang menerima perlunya suatu “transaksi nilai-nilai”, kelihatannya menganggap nilai-nilai dibangun maupun ditentukan oleh penilaian baik dan buruk. Nilai-nilai timbul dalam keadaan amarah dan kekuasaan, tetapi mampu menciptakan perubahan.
10.  Christian von Ehrenfels (1850-1932)
Ehrenfels dan Meinong merupakan tokoh yang pertama-tama memperjuangkan subjektivisme, adalah murid dari Franz Brentano (1837-1917) di Universitas Wina. Ehrenfels tidak memiliki orientasi yang subjektivis, Meinonglah yang pertama-tama memberikan jawaban yang subjektivistis terhadap persoalan tentang hakikat nilai. Antara Ehrenfels dan Meinong saling melakukan diskusi dengan karya-kaeya mereka yang sempat menjadi polemik. Nilai benar-benar merupakan subjektif alam emosional kita, namun mengacau pada objek yang dipertahankan dengan menggunakan keputusan eksistensial.
Ehrenfels mengegaskan bahwa tesis Meinong memiliki banyak kelemahan. Jika satu objek bernilai kalau ia dapat menghasilkan rasa nikmat pada diri kita, maka hanya benda yang ada yang akan bernilai. Yang benar adalah, kita menilai apa yang kita eksis, keadailan yang sempurna, kebaikan moral yang tidak pernah menjadi riel. Karena alasan inilah, Ehrenfels tidak berpikir bahwa dasar nilai dapat ditemukan dalam sensai kenikamatan atau kecocokan, namun agaknya orang haris mencarinya di dalam kawasan nafsu atau hasrat. Segala sesuatu yang kita hasrati atau kita dambakan adalah bernilai, dan semua itu demikian karena kita menghasrati atau mendambakannya.
11.  Meinong (1853-1921)
Meinong adalah orang pertama yang menyatakan penafsiran subjektivistis terhadap nilai, dalam karyanya yang berjudul “Psychological-ethical Inquiry into a Theory of Value”. Namun Meinong bukan orang pertama yang menaruh perhatian pada nilai, orang yang pertama adalah Adam Smith (1723-1790), tapi perhatiannya terhadap nilai hanya terbatas pada bidang ekonomi dan politik. Meinong mencari kunci permasalahan nilai dalam ranah psikologi, serta percaya bahwa persoalan nilai berakar dalam kehidupan emosional. Meinong berkata, “Sesuatu itu memiliki nilai manakala ia menyenangkan kita dan sejauh mana ia menyenangkan kita”.
Meinong menulis, “objek itu memiliki nilai sejauh ia memiliki kemampuan untuk memberikan dasar efektif bagi sentimen nilai”. Kemudian Ehrenfels memberikan komentar atas tesis yang dikeluarkan oleh Meinong.Meinong memahami nilai sebagai sesuatu yang muncul sebagai tanggapan afektif manusia terhadap dunia melalui empat tipe perasaan nilai.
12.  John Dewey (1859-1952)
John Dewey, dengan konsepnya mengenai kontinum alat tujuan menganggap semua nilai bertipe antara ektrinsik-instrinsik. John Dewey yang dipandang sebagai naturalis dalam teori nilai, percaya bahwa nilai-nilai ditemukan dalam pengalaman. Tapi Dewey menekankan valuasi (penilaian) dan bukan nilai-nilai yang menemukan kunci penilaian dalam proses “penghargaan” dan “penilaian”.
13.  Alejandro Korn (1860-1936)
Alejandro Korn membedakan sembilai tipe nilai: ekonomi, naluriah, erotik, vital, sosial, religius, etis, logis, dan estetik. Tiap tipe memiliki kutub nilainya sendiri. Kutub dua yang pertama, misalnya ialah “berguna sia-sia” dan “disetujui-dicela”. Tiap tipe juga mempunyai sistemnya sendiri. Sistem-sistem untuk dua tipe yang pertama adalah utilitarianisme dan hedonisme.
14.  George Edward Moore (1873-1958)
Teori nilai berdasar pada intuisi dirintis kurang jelas oleh Sidgwick, dikembangkan dan dipertahankan oleh G.E. Moore. Menurutnya kebahagiaan tidak dapat dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual diletakkan pada suatu tindakan atau suatu objek walaupun bersifat intuitif dan tidak dapat direvikasi. Menurut Moore, sebelum mengetahui “the good” (sesuatu yang “baik”) perlu terlebih dahulu memahami “good” (“baik”). Karena “good” akan membentuk “the good”. Inilah pendekatan awal dalam filsafat etika Moore. Para filosof banyak mengkaji etika dan mencoba memberikan pejelasan baik dan buruk akan sesuatu, namun tidak memberikan pemahaman akan “baik” itu sendiri. Yang ada malah justru mengakait-kaitkan nilai normatif dengan realitas adanya “yang baik” dalam kehidupan sehari-hari.
Maka prinsip suatu tindakan dinilai baik adalah kalau tindakan itu menyenangkan atau berguna bagi kita atau banyak orang. Moore menegaskan bahwa penilaian moral, jadi penilaian apakah dan sejauh mana sesuatu itu baik atau buruk, bersifat seratus persen objektif dalam arti bahwa penilaian itu tidak tergantung dari selera, perasaan atau insting orang yang menilai.
15.  Max Scheler (1874-1928)
Scheler menemukan suatu hierarki tipe-tipe nilai yang terdiri atas nilai inderawi, kehidupan, rohani, dan religius dalam urutan yang unik. Scheler menyatakan bahwa nilai adalah hal yang dituju manusia. Jika ada orang yang mengejar kenikmatan, maka hal itu bukan demi kepuasan perasaan, melainkan karena kenikmatan dipandang sebagai suatu nilai. Berbeda dengan Immanuel Kant, nilai menurut Max Scheler tidak bersifat relatif, melainkan bersifta mutlak atau objektif. Nilai bukan ide atau cita-cita, melainkan sesuatu yang kongkret yang hanya dapat dialami dengan jiwa yang bergetar dan dengan emosi. Mas Scheler telah membedakan dengan jelas antara nilai dan hal yang bernilai. Nilai adalah kualitas yang membuat suatu hal menjadi hal yang bernilai, sedangkan hal yang bernilai merupakan suatu hal yang membawa kualitas nilai.Max Scheler maupun Nicolai Hartmann mengetengahkan bahwa nilai adalah esensi non temporal dan hierarkis sifatnya.
Max Scheler berpendapat, bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawanya, merupakan kualitas apriori, yang telah dirasakan manusia tanpa harus melewati pengalaman inderawi lebih dahulu. Tidak tergantungnya kualitas tersebut tidak hanya pada objek yang ada di dunia ini seperti lukisan, patung, tindakan manusia dan lain-lain, melainkan juga tidak tergantung pada reaksi kita terhadap kualitas tersebut. Nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung, dan tidak berubah seiring dengan perubahan barang. Sebagaimana warna merah tidak berubah menjadi biru ketika suatu objek dicat menjadi merah. Demikian pula nilai tetap tidak berubah oleh perubahan yang terjadi pada objek yang memuat nilai yang bersangkutan. Nilai bersifat absolut, tidak dipersyaratkan oleh suatu tindakan, tidak memandang keberadaan alamaiahnya, baik secara historis, sosial, biologis ataupun individu murni. Scheler juga menolak ketergantungan nilai pada realitas kehidupan. Bagi Scheler nilai adalah hal yang dituju oleh perasaan, maka tidaklah benar jika dikatakan bahwa manusia berusaha memperoleh kenikmatan atau kepuasan perasaan. Sebab yang diusahakan manusia adalah nilai. Maka bila manusia bermaksud mendapatkan kenikmatan, hal itu bukan untuk kepuasan perasaan, melainkan karena kenikmatan itu dipandang sebagai suatu nilai.
16.  Ralp Barton Perry (1876-1957)
Perry mensinyalir bahwa apapun objek yang ada dalam realitas maupun dalam pikiran, apapun tindakan yang terjawantah maupun dipikirkan bisa memperoleh nilai bila ada jalinan intersubyektivitas atau individu yang berkepentingan. Dikatakan benar jika nilai berhubungan dengan kepentingan. Perry menempatkan nilai sebagai kepentingan yang dideterminasikan oleh manusia sebagai subjek maka awal persoalan jelas menghadang di depan mata.
Dalam karyanya yang besar tentang nilai, dia mengesampingkan objektivis dan mencari asal mula dan dasar nilai di dalam subjek yang terlibat dalam proses penilaian.Perry mengklasifikasikan nilai ke dalam delapan tipe, yang terkadang dinamakan dunia nilai. Nilai-nilai itu sebagai moral, estetik, ilmiah, religius, ekonomi, politis, legal, dan adat istiadat.
17.  Nicolai Hartmann (1882-1950)
Nilai adalah esensi, sebagai ide dari Platonik. Nilai harus dicari bersama objek ideal. Nilai selalu berhubungan dengan benda yang menjadi pendukungnya, misalnya indah dengan kain dan baik dengan perilaku. Artinya, bahwa nilai itu tidak nyata. Dan ini berarti juga bahwa pertimbangan nilai seseorang bergantung kepada fakta.Menurut Nicolai nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada dunia nyata hanya dengan peralatan manusia, pandangan ini pantas dinamakan teori “idealisme nilai”. Lawan “idealisme nilai” adalah realisme nilai atau lebih baik disebut dengan metafisika nilai yang mengatasi pemisahan nilai yang ada
18.  Jean Paul Sartre (1905-1980)
Sartre berpandangan bahwa nilai merupakan rekaan manusia dalam situasi kehidupannya. Nilai bukan esensi dan tidak dapat dibenarkan secara rasional. Sartre menyatakan eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi. Artinya, manusia akan memiliki esensi jika ia telah eksis terlebih dahulu dan esensinya itu akan muncul ketika manusia itu mati. Dengan kata lain, manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa lalu. Karena itu, menurut Sartre satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia.

Dari penjabaran tentang konsep nilai diatas dapat disimpulkan konsep nilai dalam tiga ketegori besar, yaitu sebagai berikut:
1.      Harkat. Kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan.
2.      Keistimewaan. Apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai sebagai suatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah “tidak bernilai” atau “nilai negatif”. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan menjadi suatu “nilai negatif” atau “tidak bernilai”.
3.      Nilai dalam bidang ilmu ekonomi, yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar benda-benda material, pertama kali menggunakan secara umum kata “nilai”.
Konsep nilai merupakan komplemen dan sekaligus lawan konsep fakta. Kita memang hanya mengetahui fakta, tetapi mesti mencari nilai. Karena apapun, sikap apapun, ideal mana saja, maksud mana pun, atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai, maka nilai mesti merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan.

Nilai dan Non Nilai
Oposisi antara nilai dan non nilai dan prioritas nilai atas nilai lain merupakan aspek-aspek dari soal nilai seluruhnya. Nilai didasarkan atas tatanan yang ada dan kegiatan insani yang diukur oleh nilai. Penyimpangan dari tatanan yang ada berarti non nilai dan ini akhirnya mengarah kepada kesalahan moral. Sehubungan dengan prioritas satu nilai atas nilai lainnya, derajat nilai bertautan dengan derajat yang ada. Pada bidang yang lebih resmi, dibuat perbedaan antara nilai pribadi, nilai kesenangan, dan nilai kegunaan. Nilai pribadi dicari demi kepentingan nilai itu sendiri. Nilai kesenangan tergantung pada nilai pribadi sejauh nilai kesenangan ditata ke arah nilai pribadi dan tatkala dimiliki nilai itu menghasilkan kebahagiaan. Nilai kegunaan membantu nilai pribadi sebagai alat menuju tujuan. Nilai pribadi memperlihatkan langkah-langkah berikut dengan urutan naik: ekonomi, fisik, rohani (yang benar, yang indah, yang baik secara moral), nilai-nilai religius. Urutan prioritas ini didasarkan atas tatanan yang ada dimana nilai-nilai religius menduduki tempat tertinggi. Karena, nilai-nilai religius langsung berkaitan dengan kebaikan tidak terbatas (Allah).

Teori Nilai
1.      Teori Objektivitas Nilai.
Terdapat beberapa pengertian, yaitu:
a.       Teori objektivitas nilai adalah teori yang menyatakan bahwa nilai-nilai seperti kebakan, kebenaran, keindahan, ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan nyata dalam bentuk (rupa) yang sama sebagaimana kita dapat menemuka objek-objek, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja merah.
b.      Teori objektivitas nilai adalah pandangan yang menyatakan bahwa nilai-nilai adalah objektif dala arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi itu.
2.      Teori Relativisme Nilai
Relativitas nilai adalah pandangan bahwa a) nilai-nilai bersifat relatif dan berhubungan dengan preferensi (sikap, keinginan, selera, kecenderungan), b) bahwa nilai-nilai berbeda dari suatu kebudayaan kebudayaan lain, c) bahwa penilaian, seperti benar/ salah, baik/ benar, d) bahwa tidak ada nilai-nilai universal, mutlak, dan objektif manapun yang dapat diterapkan pada semua orang pada segala waktu.
3.      Teori Subjektivitas Nilai
Subjektivitas nilai adalah pandang bahwa nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, tidak ada dalam dunia real objektif tetapi merupakan perasaan-perasaan, sikap-sikap pribadi, dan merupakan penafsiran atas kenyataan.




Daftar Pustaka
Boyer, Carl B. (1991). A history of mathematics. NY, USA: John Wiley & Sons.
Burton. (2006). The history of mathematics: an intoduction, sixth edition. USA: The McGraw-Hill, Inc.
Detmer, David. (1988). Freedom as a value: a critique of the ethical theory of Jean-Paul Sartre. USA: Patent and Trademark Office.
Frondizi, Risieri. (2011). Pengantar filsafat nilai. (Terjemahan Cuk Ananta Wijaya). Open Court Publishing. (Buku asli diterbitkan tahun 1963)
Haza’a, Salah Kaduri., Dyastriningrum Subandiati, dan Ibnu Ngatoilah. (2004). Sejarah matematika klasik dan modern. Yogyakarta: UAD Press.
Hickman, Larry A & Thomas M. Alexander. (1998). The essential dewey: etnics, logic, psychology. USA: Indiana University Press.
Nata, Abuddin. (2005). Filsafat pendidikan islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.Saefullah, Djaja. 2004. Pengantar filsafat. Bandung: Refika Aditama.
Ravert, Jerome R. (2009). Filsafat ilmu sejarah dan ruang lingkup bahasan. (Terjemahan Saut Pasaribu). England: Oxford University Press. (Buku asli diterbitkan tahun 1982)
Smith, Karl J. (2012). The nature of mathematics 12th edition. USA: Brooks/ Cole Cengange.
Tjahjadi, Simon Petrus L. (2004). Petualangan intelektual. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar