PENDAHULUAN
Manusia
merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT paling sempurna. Manusia
diberikan kelebihan dari makhluh hidup ciptaan Allah SWT yang lainnya, yaitu
otak yang dapat digunakannya untuk berpikir. Dengan kelebihan yang dimilikinya
dari makhluk hidup lainnya, manusia diperintahkan untuk bepikir. Hal ini telah
ditulis dalam Al-Qur’an:
Artinya:
Kalau
sekiranya kami turunkan Al-Quran Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan
melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan
perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.
(QS. Al Hasyr: 21)
Artinya:
Dan
dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan
bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang memahami (nya). (QS. An Nahl: 12)
Memahami
disini diartikan bahwasanya harus berpikir untuk mengetahui segala sesuatunya. Dengan
otak yang diberikan kepada manusia untuk berpikir, manusia seharusnya bisa
membedakan mana hal yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah, mana yang
boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Akan tetapi dalam berpikir
juga harus dibatasi, terutama jika kita berpikir dalam suatu hal yang berbau
spiritual atau keyakinan beragama.Jika dalam berpikir tidak dibatasi maka
manusia tersebut akan menyimpang dari ajaran agamanya. Karena dalam hal
spiritual dan keyakinan, banyak hal-hal yang bersifat ghoib dan tidak bisa
ditangkap oleh nalar kita. Contohnya, adanya Allah SWT yang menciptakan seluruh
alam semesta ini dengan seluruh isinya, adanya Surga dan Neraka, adanya kiamat
besar sebagai tanda berakhirnya dunia ini dan masih banyak lagi hal-hal yang
jika kita tidak mempercayainya dengan hati kita maka kita tidak akan pernah
percaya hal tersebut, karena hal tersebut tidak bisa kita lihat dengan mata
kepala kita.
Dalam
proses berpikir ini terjadi pembentukan ide-ide manusia yang terbentuk dari
imajinasi manusia dengan gabungan dari imaji-imaji (gambar-gambar) tentang
suatu hal. Jika orang berpikir tentang surga dan neraka, yang wujudnya saja
kita tidak ketahui seperti apa maka manusia hanya bisa mengimajinasikan surga
dan neraka melalui gambar-gambar. Gambaran tentang surga dan neraka setiap
orang tentang surga dan neraka mungkin saja akan berbeda tergantung dengan
pemikiran mereka terhadap sesuatu. Dalam Al-Qur’an, surga digambarkan dengan
sungai yang mengalir didalamnya, buah-buahan berlimpah dan isteri-isteri sholeh.
Hal ini ditulis dalam Al-Qur’an surat Al
Baqarah ayat 25:
Artinya:
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang
beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. setiap mereka diberi rezki buah-buahan
dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan
kepada kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk
mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang Suci dan mereka kekal di dalamnya.
Sedangkan
Neraka digambarkan dengan sebuah tempat dengan api yang sangat membara dan menjulang
tinggi. Hal ini ditulis dalam Al-Qur’an surat Al
Mursalaat ayat 32 dan 33:
Artinya:
32)
Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana. 33) Seolah-olah
ia iringan unta yang kuning.
Gambaran-gambaran
inilah yang kemudian para filsuf sering menyebutnya dengan imaji. Imaji-imaji
ini akan membentuk sebuah imajinasi manusia berdasarkan dengan pengalaman
manusia dan ide yang dimiliki oleh manusia.Imajinasimanusia dalam menciptakan
sebuah pemikiran memerlukan beberapa bahan referensi untuk menghasilkan
pemikiran yang objektif.Dalam hal ini imajinasi dalam diri manusia sangat
diperlukan sebagai salah satu bahan pemikiran manusia.
Banyak
orang mengartikan bahwa imajinasi sama dengan ingatan, akan tetapi sebenarnya
imajinasi sifatnya lebih luas dan lebih liar dari sebuah ingatan. Imajinasi
berbeda dengan ingatan (memory),
imajinasi merupakan kemampuan untuk menggabungkan dengan bebas representasi dan
ide. Imajinasi memanfaatkan bahan dalam ingatan dan menyusunnya dengan hukum
asosiasi. Imajinasi sering ditempatkan pada tingkat melayani kreativitas rohani
dengan mengarahkan perhatian secara bebas dan pasif. Imajinasi sering digunakan
dalam beberapa hal yang berkaitan dengan mimpi, sandiwara, cerita-cerita
dongeng dan mitos, dan dalam semua pemikiran yang sungguh-sungguh bersifat kreatif.
Contoh
hasil kongkrit dari sebuah imajinasi manusia adalah karya seni, karena menurut
Plato, Seni adalah tiruan alam.Dalam hal ini peran imajinasi dalam diri manusia
sangat diperlukan untuk membentuk pola dan bentuk sebuah sebuah karya seni yang
dideskripsikan oleh Plato.Karena karya seni menurut plato yang juga disepakati
oleh aristoteles adalah sebuah tiruan, yang artinya ada modifikasi dalam
membentuk ulang maka manusia akan melukiskan dalam angan-angan yang mulai
menggabungkan antara dua objek yang saling berkaitan.Misalkan menggabungkan
antara bentuk hewan dan manusia yang dijadikan satu sehingga menciptakan mahluk
baru yang mungkin keadaan dialam semesta ini tidak nyata,Thomas Hobbes
mencontohkanya seperti penyatuan antara kuda dan manusia yang sering disebut
dengan centaurus. Centaurus merupakan salah satu tokoh
dongeng yang amat terkenal dari zaman ke zaman.
Manusiadituntut
untuk selalu produktif dan kreatif untuk selalu dapat bertahan dalam
perkembangan zaman.Bila zaman dahulu mobil adalah hal sangat mustahil akan
tetapi imajinasi manusia mengatakan mobil sangat mungkin ada,yang artinya
imajinasi tak memiliki batasan zaman. Dan kenyataannya hal yang mungkin tidak
akan ada menurut orang zaman dahulu, sekarang menjadi ada. Hal ini menunjukkan peranan
penting seseorang dalam berimajinasi. Berimajinasi untuk memajukan kehidupan
manusia.
Bila
dirumuskan hubungan antara imaji, imajinasi, ide, karya dapat dilihat sebagai
berikut:
![]() |
Karya
ini bisa hanya berbentuk konsep, bisa juga sudah berbentuk fisik (nyata
berbentuk sebuah karya seni). Imajinasi sifatnya hanya berbentuk pemikiran,
aplikasinya adalah karya, bisa karya seni maupun karya ilmu pengetahuan yang
lainnya.Atau imajinasi juga bisa sebagai alat manusia untuk menciptakan suatu
keadaan yang gembira dan senang.Imajinasi sebagai alat manusia untuk
menciptakan suatu keadaan gembira dan senang bisa menggunakan sandiwara yang
dilakukan oleh manusia tersebut. Sandiwara yang dilakukannya yaitu untuk
mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya sehingga akan menciptakan aura
yang positif kemudian juga akan berdampak pada hati dan pikiran yang tenang dan
damai sehingga kita akan merasakannya kegembiraan dan kesenangan. Selain
sandiwara, imajinasi juga bisa dibentuk untuk menafsirkan mimpi yang kita
alami. Fungsi imajinasi dalam mimpi menghadirkan kesadaran dengan rangkaian
gambar-gambar yang tampaknya tidak teratur. Gambar-gambar (imaji-imaji) yang
dihasilkan dalam mimpi tersebut akan terlihat atau tampak dengan sendirinya,
kita tidak bisa merubah gambar-gambar dalam mimpi kita sesuai dengan keinginan
kita sendiri. Sehingga berakibat bahwasanya kegiatan yang disadari oleh kita
(manusia) tidak akan ada dalam mimpi kita, karena mimpi yang kita alami tidak
bisa kita kontrol sesuka hati kita. Walaupun demikian, mimpi yang kita alami
tersebut akan memberikan efek kepada kita yang membawa nilai-nilai yang positif
maupun negatif. Jika kita dapat merubah mimpi yang buruk menjadi kekuatan kita
maka akan menumbuhkan aura yang positif, seperti akan menumbuhkan inspirasi
kita melakukan sesuatu atau bahkan kita dapat menyelesaikan permasalahan yang
kita hadapi dengan memanfaatkan mimpi yang kita alami itu. Terkadang juga kita
menafsirkan mimpi abstrak yang kita alami atau bisa dikatakan mimpi kita tidak
jelas apa maknanya. Dengan mimpi yang tidak jelas itu, kita akan menghubungkan
imaji-imaji dalam mimpi tersebut kemudia kita mengimajinasikan apa arti dari
mimpi kita tersebut.
Selain
itu, imajinasi juga sering untuk menceritakan dongeng dan mitos. Terutama di
Indonesia, di Indonesia terdapat banyak sekali cerita dongeng dan mitos yang
telah dibuat masyarakat. Contohnya Candi Prambanan, dongeng terbentuknya Candi
Prambanan adalah karena Roro Jonggrang memberikan syarat pernikahan kepada
Bandung Bandawasa dengan dibuatkannya 1000 candi. Selain dongeng itu juga ada
sebuah mitos, bahwa pasangan yang datang ke Candi Prambanan dalam waktu yang
tidak lama hubungannya akan retak. Dongeng tentang Candi Prambanan ini mungkin
terbentuk karena imaji-imaji yang digunakan seseorang dengan Candi Prambanan
tersebut, karena candi yang berjumlah 999 itu membuat masyarakat
mengimajinasikan bahwasanya salah satu Candi tersebut belum jadi seperti cerita
pada dongeng tersebut. Dan mitos tentang hubungan yang retak tersebut ada,
karena karena imaji seseorang tentang Candi Prambanan yang menggambarkan
kemarahan Bandung Bandawasa yang akhirnya mengutuk Roro Jonggrang menjadi
sebuah patung dan Roro Jonggrang akan membalaskan dendamnya. Imaji tentang
kemarahan dan balas dendam itulah yang akhirnya membuat mengimajinasikan bahwa
setiap pasangan yang masuk ke dalam Candi Prambanan tersebut hubungannya akan
retak.
Dari
penjelasan di atas telah disinggung bagaimana peranan penting imaji dalam
membentuk sebuah imajinasi yang kemudian akan membetuk ide dan sebuah karya.
Selain itu bagaimana menggunakan imaji-maji untuk membentuk sebuah imajinasi.
Kemudian akan dibahas tentang imaji lebih dalam menurut para filsuf dari zaman
pra sejarah sampai zaman kontemporer. Penjelasannya sebagai berikut:
PEMBAHASAN
Dari
pendahuluan di atas terlihat jelas bahwa konsep tentang imaji sudah ada sejak
manusia itu lahir yaitu semenjak zaman Nabi Adam AS. Nabi Adam dituntut untuk
berpikir seperti yang tercantum pada surat Al-Hasyr ayat 21 dalam Al-Qur’an di
atas. Dengan penggabungan ide-ide yang membentuk sebuah pemikiran yang matang
untuk mengubah dunia ini menjadi lebih baik dan maju. Dalam berpikir ini
sebenarnya konsep imaji sudah ada secara tidak langsung karena berpikir itu
sendiri merupakan serangkain proses yang didalamnya ada pembentukan imaji-imaji
menjadi sebuah imajinasi kemudian imajinasi tersebut menjadi sebuah ide dan ide
tersebut akan menjadi sebuah karya. Karya disini bisa berupa konsep maupun
berupa fisik seperti yang sudah dijelaskan pada pendahuluan di atas.
Selanjutnya
zaman prasejarah, pada zaman Babilonia, Mesir kuno, dan Yunani konsep imaji
juga sudah ada. Buktinya ilmu pengetahuan sekarang sudah berkembang sangat
pesat. Tanpa adanya imaji-imaji yang membentuk imajinasi seseorang tersebut mustahil
ilmu pengetahuan akan berkembang. Dari zaman Babilonia yang mengenal sistem
angka dan mengimajinasikan notasi angka tersebut dengan bilangan berbasis 60
yaitu sistem seksadesimal. Sistem notasi ini mampu menampilkan bilangan pecahan
dan terbukti menjadi dasar perkembanan bilangan matematika dengan order yang
lebih tinggi. Imaji-imaji pada zaman Babilonia tentang sistem simbol sangat
berbeda dengan sekarang, sistem simbol pada zaman Babilonia masih belum
praktis. Selain sistem simbol, pada zaman Babilonia juga berkembang tentang
konsep teorema Pythagoras. Suku Babilon mengimajinasikan hubungan-hubungan
antara angka-angka yang terdapat dalam segitiga dan mereka mengimajinasikan
bagaimana cara menghitung radius sebuah lingkaran melalui segitiga sama sisi.
Mereka membuat imaji-imaji tentang lingkaran dan segitiga kemudian menjadikan
imajinasi mereka bagaiman untuk menghubungka keduanya. Walaupun secara konsep
teorema pythagoras sudah ada pada zaman Babilonia, akan tetapi yang terkenal
dengan teorema pythagoras ada seorang filsuf yunani yang bernama Pythagoras.
Kata “pythagoras” dalam teorema pythagoras karena mengambil nama dari filsuf
yang bernama Pythagoras. Kenapa Pythagoras lebih dikenal daripada suku
Babilonia? Hal ini dikarenaka Pythagoras yang membuat teorema pythagoras ini
lebih terstruktur rapi dan mudah dimengerti oleh khalayak banyak karena sudah
dibukukan. Imaji-imaji yang dibentuk oleh Pythagoras ini merupakan imajinasi
yang dikembangkan berdasarkan pengalaman yang dimilikinya.
Berbeda
dengan zaman Babilonia yang menotasikan angka dengan bilangan berbasis 60,
sistem bilangan zaman Mesir Kuno memiliki basis 10 yaitu sistem
hieroglyphs. Selain itu, sistem bilangan
yang digunakan disusun oleh bilangan hieratik. Bilangan hieratik tidak
membentuk suatu sistem posisional sehingga nilai angka-angka tertentu dapat
dituliskan dalam banyak susunan. Dengan sistem nilai angka ini dapat dibentuk
dari sedikit simbol, lebih praktis dibandingkan sistem bilangan yang digunakan
pada zaman Babilonia. Selain imaji tentang sistem bilangan, pada zama Mesir
Kuno juga terdapat Kalender Mesir Kuno. Kalender ini awalnya digunakan untuk
mengetahui kapan sungai Nil akan banjir. Namun karena kebermanfaatannya,
kalender ini juga digunakan untuk kalender sipil dengan perubahan menjadi basis
kalender Julian dan Gregorian. Kalender ini merupakan sebuah karya nyata dari
sebuah imajinasi seseorang yang terbentuk dari imaji-imaji. Dari kedua zaman
ini terlihat bahwa imajinasi seseorang berbeda-beda dan akan terus berkembang
tidak terbatas ruang dan waktu.
Setelah
zaman Mesir Kuno, ada zaman Yunani. Pada zaman Yunani terdapat beberapa tokoh
yang terkenal seperti Thales, Anaximandros, Heraklitos, Permenides, dan Demokritos.
Thales mengimajinasikan prinsip awal segala sesuatu adalah air. Sedangkan
Anaximandros yang merupakan murid dari Thales, menentang keras pendapat dari
Thales tersebut. Anaximandros mengimajinasikan bahwa prinsip segala sesuatu
tidak terbatas. Setelah Thales dan Anaximandros muncul seorang filsuf yang
bernama Heraklitos yang mengimajinasikan segala sesuatunya itu mengalir (panta rhei) dan berubah, jadi tidak ada
satupun yang memiliki sifat yang tetap atau mantap. Hal ini sejalan dengan
pemikiran Thales yang mengibaratkan segala sesuatu itu seperti air, air akan
mengalir karena begitulah sifat alami dari air. Sedangkan Parmenides memiliki
imajinasi yang berbeda dengan Heraklitos, menurutnya segala sesuatu yang ada
itu tidak bergerak, tidak berubah, dan tidak bisa dihancurkan.
Kemudian
ada salah satu filsuf Yunani yang ajarannya masih dapat ditemukan zaman
sekarang, dia adalah Demokritos. Aliran filsafatnya bernama Atomisme.
Demokritos mengimajinasikan seluruh realitas tercipta dari gugusan unsur-unsur
terkecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (Tjahjadi, Simon Petrus L: 29).
Istilah imaji kadang dipakai untuk menerjemahkan kata Yunani eidola(gambaran-gambaran kecil),
sebagaimana Demokritos yang menyebut kerangka-kerangka yang dikirim oleh
objek-objek kepada pancaindera kita dalam persepsi. Gambaran-gambaran ini masuk
ke dalam pancaindera kemudian disalurkan ke arah jiwa yang juga terdiri dari
atom-atom.
Dari
zaman pra sejarah kita beranjak ke zaman klasik, pada zaman ini terdapat
beberapa tokoh seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, dan Epikuros. Karya-karya
Sokrates sangat banyak seperti kebenaran, teknik, ilmu pengetahuan, negara,
keadaan asal, dan dewa. Akan tetapi karya-karya dari Sokrates ini tidak
dibukukan, ajarannya hanya disampaikan secara lisan kepada murid-muridnya dan
orang-orang yang ada disekitarnya. Sokrates merupakan salah satu yang
mengembangkan daya imajinasinya untuk memikirkan sesuatu. Dia berhasil
menggabungkan imaji-imaji untuk membentuk imajinasi yang kreatif. Karyanya
tentang kebenaran selalu dipegang teguh olehnya, sampai hayatnya. Dia meninggal
ketika dia sedang dipenjara, walaupun ada muridnya yang ingin membebaskannya
dari penjara tapi Sokrates jelas-jelas menolaknya. Karena menurutnya, imaji
tentang kebenaran hukum itu tidak akan pernah salah, yang salah bukan hukumnya melainkan
orang yang terlibat dalam hukum tersebut.
Plato
merupakan murid dari Sokrates, sehingga filsafatnya sangat dipengaruhi oleh
pandangan gurunya. Menurut Plato, ide adalah citra pokok dan perdana dari
realitas (dari kata Yunani, eidos
yang berarti gambar atau citra. Jadi tidak boleh disamakan dengan arti ide
menurut bahasa Indonesia yang berarti gagasan, cita-cita) (Tjahjadi, Simon
Petrus L: 48).Jika gurunya, yaitu Sokrates hanya mendalami tentang moral
manusia, Plato mempeluas bidang pencariannya sampai pada hakekat umum dari
segala sesuatu.Plato juga berhasil mendamaikan pemikiran dari Herakleitos dan
Parmenides. Herakleitos yang beranggapan
bahwa segala sesuatu berubah, Plato mengatakan ‘itu memang benar, tetapi hanya
berlaku di dunia inderawi’. Sedangkan Parmenides yang beranggapan segala
sesuatu itu sempurna, utuh, dan mantap, Plato menjawab ‘itu benar, tetapi
berlaku hanya untuk dunia rasional atau dunia ide-ide’ (Tjahjadi, Simon Petrus
L: 50).
Istilah
yunani phantasma diterjemahkan ke
dalam bahasa inggris menjadi phantasm
atau image. Aristoteles menyebut
ide-ide potensial sebagai phantasmata.
Aristoteles merupakan murid Plato selama 20 tahun. Dan dalam tradisi
Aristotelian-Thormistik umumnya intelek aktif mempengaruhi phantsma untuk menghasilkan kodrat universal. Kodrat manusia hidup
itu untuk memperoleh kebahagian, danAristoteles menganggap kebahagiaan atau eudaimonia sebagai nilai final atau
tujuan hidup. Hal ini sejalan dengan kedua pendahulunya, yaitu Sokrates dan
Plato, Aristoteles juga mengakui bahwa tujuan terakhir manusia adalah
kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia di satu pihak, apabila
sudah bahagia, manusia tidak memerlukan apa-apa. Kebahagiaan itulah yang baik
dan bernilai pada dirinya sendiri. Drama merupakan salah satu kesenian yang
dibentuk dengan adanya imajinasi terhadap imaji-imaji. Menurut Aristoteles
kesenian (puisi, drama) sebagai peniruan konkret dan seni harus merupakan suatu
proses pemurnian. Yang dimaksud dengan pemurnian disini adalah setelah melihat
seni tersebut hati dan pikiran orang yang menontonnya akan jernih dan damai.
Epikuros
juga menggunakan istilah imaji dengan eidola,
sebagaimana dengan filsuf sebelumnya yaitu Demokritos. Epikuros menyebut
kerangka-kerangka yang dikirim oleh objek-objek kepada pancaindera kita dalam
persepsi. Berbeda dengan Aristoteles, Epikuros mengatakan tujuan akhir hidup
adalah kenikmatan dan dia mendefinisikan kenikmatan sebagai keadaan negatif,
yakni tidak adanya rasa sakit dan kegelisahan hidup. Akan tetapi, yang jauh
lebih utama dari kenikmatan adalah ketenangan jiwa (ataraxia) yang diibaratkan seperti tenangnya laut manakala tidak
ada angin bertiup.
Seiring
berkembangan zaman, imaji seseorang tentan segala sesuatu juga pasti akan
berubah. Beranjak dari zaman prasejarah menuju zaman pertengahan. Zaman
pertengahan ini terdapat hubungan erat antara agama kristen dengan filsafat.
Ajaran tentang dunia menurut Aurelius Augustinys berhubungan dengan ajarannya
mengenai ide-ide sebagi citra awal segala sesuatu. Imaji yang membentuk ide-ide
berasal dari Allah dan di dalamnya ada roh atau budi. Dengan kata lain, dunia
diciptakan dengan rancangan atau ide-ide dalam budi Allah. Imaji-imaji
Augustinus tentang dunia adalah materi, waktu, dan bentuk yang merupakan
ide-ide abadi. Dan dalam imajinasinya itu dia mengatakan bahwa terdapat materi
yang tidak mempunyai bentuk tertentuk yang kemudian disebutnya rationes seminales, yaitu suatu materi
yang mengandung prinsip aktif dari semua makhluk hidup berasal dan berkembang.
Contohnya, seekor burung sudah ada di dalam telur.
Pada
tahun 800-1200, kebudayaan Islam berhasil memelihara warisan karya-karya para
filsuf dan ilmuwan Yunani Kuno dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Dan
salah satu seorang pemikir Islam yang berjasa dalam memperkenalkan pemikiran
Aristoteles ini adala Muhammad Ibn Rushd. Ibn Rushd adalah seorang pemikir
Islam yang mempengaruhi dunia barat dengan komentarnya yang luas atas buku-buku
karya Aristoteles. Dalam filsafatnya dia menggabungkan Al-Qur’an dengan
karya-karya Aristoteles. Untuk menggambarkan makna yang sebenarnya dari
Al-Qur’an hanya Allah yang mampu memahaminya dengan tepat. Ayat-ayat pada
Al-Qur’an yang sekiranya mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan akal
budimaka ayat-ayat dalam Al-Qur’an harus ditafsirkan menurut makana yang dapat
diterima oleh akal budi itu (filsafat Aristoteles). Al-Qur’an dan filsafat
Aristoteles adalah satu kebenaran sehingga konsekuensinya iman dan akal tidak
mungkin bertentangan.
Selain
Ibn Rushd yang menggunakan filsafat Aristoteles selanjutnya adalah Thomas
Aquinas. Thomas Aquinas menggunakan imaji batu marmer dan kuda kemudian yang
menjadikannya sebuah patung kuda yang terbuat dari batu marmer. Materi keduanya
sama yaitu batu marmer yang satu batu marmer yang berbentuk bongkahan besar,
sedangkan yang satunya batu marmer yang sudah berbentuk seekor kuda. Jika kita
membuat seekot kuda dengan bahan plastik, maka materi keduanya berbeda tapi
bentuknya sama yaitu seekor kuda, di sini kita melihat adanya individuasi.
Filsafat Aristotels tentang akal, sepeti halnya Ibn Rushd yang menggabungkan
akal dan iman untuk mempercayai adanya Tuhan. Akan tetapi, ia menolak bukti apriori tentang adanya Tuhan. Kemudian
Aquinas mengambil cara lain untuk menunjukkan adanya Tuhan, yaitu dengan imaji
tentang gerak, sebab-akibat, “ada” yang niscaya, derajat kualitas, dan
finalitas. Dan imaji tentang finalitas hidup adala kebahagiaan. Namun
kebahagiaan itu tidak terletak dalam pengembangan dan penyempurnaan hidup di dunia
ini sebagaimana diajarkan oleh Aristoteles, melainkan jauh melampaui itu, yakni
kebahagiaan di alam baka.
Kemudian
ada filsuf baru yang mengungkapkan tentang imaji. Baik Francis Bacon maupun
Thomas Hobbes menggunakan istilah phantasm
untuk mengatakan imaji. Imaji Hobbes tentang manusia adalah dengan
menguhubungkannya dengan serigala. Menurutnya manusia harus bersikap seperti
serigala bagi sesamanya (homo homini
lupus). Agar dirinya selamat, serigala yang licik tentu akan lebih suka membunuh
saingannya dalam keadaan lengah sebelum ia sendiri terbunuh. Manusia akan tetap
seperti serigala yang tidak ingin dan tidak pernah mampu membuat perjanjian,
apalagi untuk berusaha menepatinya.
Tipe
analisis yang diajukan oleh kaum empiris dekat dengan arti harfiah kata
imajinasi ini, kaum empiris inggris, misalnya mengartikan imajinasi sebagai
pengolahan kembali bahan-bahan yang diperoleh indera. Dalam kaitan ini, Thomas
Hobbes lebih mencolok dibanding dengan rekan-rekannya yang lain. Hobbes membagi
imajinasi kedalam tipe simpel dan gabungan. Contoh imajinasi tipe simpel adalah
perbuatan mengimajinasi yang dilakukan seseorang atau seekor kuda yang sudah
dilihat sebelumnya. Sedangkan contoh dari imajinasi tipe gabungan adalah
perbuatan membayangkan seekor centaurus
(makhluk setengah kuda dan setengah manusia) dengan menggabungkan penglihatan
terhadap seseorang dan penglihatan terhadap seekor kuda.
Tetapi
kaum empiris umumnya mengandalkan sesuatu yang mirip images (imaji-imaji). Misalnya saja, ide-ide simpel Descartes, Locke,
impresi Hume. Dan maksudnya ialah memberi bahan kepada prinsip-prinsip asosiasi
agar berubah menjadi ide-ide.Imaji “ada” Descartes adalah ketika seorang sedang
berpikir, jika seorang berpikir maka menunjukkan seseorang itu ada dan hakikat
manusia adalah pemikiran (res cogitans).
Ini sesuai dengan pernyaan Descartes (Tjahjadi, Simon Petrus L: 207):
“Benar,
aku hanyalah makhluk yang berpikir...Makhluk yang bisa meragukan, mengamati,
membenarkan, menolak, menginginkan, tidak menginginkan, berimajinasi, dan
merasakan”.
Selain
imaji “ada”, Descartes menyebutkan ada tiga hal yang disebut dengan “ide-ide
bawaan” yaitu cagitatio, deus, dan extentio. Imaji cagitatio adalah ide tentang pemikiran manusia, imaji deus adalah pemikiran tentang Tuhan
(Allah), sedangkan imaji extentio
adalah ide tentang keluasan. Ide keluasan ini yang dimaksud adalah segala
sesuatu yang dapat dimengerti dengan satuan geometris (panjang, lebar, tinggi,
luas, besar, dan lain-lain).Descartes menitikberatkan pemikirannya terhadap
rasio, dan rasio inilah faktor penting yang menjembatani untuk menjelaskan
agama dan nilai kebenaran.
Sepertinya
halnya dengan Descartes, John Locke juga menitikberatkan pemikirannya terhadap
rasio. Rasio berkerja untuk membentuk simple
idea menjadi complex idea dengan cara membandingkan, mengabstraksi,
menghubungkan simple ideas.Imaji tentang
simple idea Locke berasal dari
pengalaman inderawi secara langsung, maka complex
idea tidak bisa diamati secara langsung dari pengalaman inderawi tetapi
dapat diketahui melalui kombinasi-kombinasi dari berbagai simple idea. Imaji Locke tentang negara sering diibaratkan sebagai
“peronda malam”. Seperti peronda yang menjaga parbrik atau rumah majikannya
dari seseorang yang ingin mengganggu dan merusaknya, negara Locke melindungi
kekayaan milik warganya, namun tidak menaruh minat pada masalah pemerataan
kesejahteraan buruh pabrik dan mungkin juga tidak mau tahu apakah majikannya
sebenarnya adalah seorang pemeras buruh atau bukan. Yang merupakan imaji negara
Locke ini ya tentang peronda malam ini, dan tidak memperdulikan segala sesuatu
diluar hal tersebut.
Beda
halnya dengan pendapat Descartes, David Hume menolak pandangan tentang imaji
tentang ide-ide bawaan. Imaji Hume tentang kesadaran adalah pengalaman yang
memiliki dua unsur, yaitu: kesan (impressions)
dan pandangan (ideas). Hume
menjelaskan perbedaan kesan dan pandangan sebagai berikut (Tjahjadi, Simon
Petrus L: 248):
“All the perceptions of the human mind
resolve themseleves into distincr kinds, which I shall call Impresiions and
Ideas. The difference betwixt these concists in the degrees of force and
liveliness with which they strike upon the mind and make their way into our
thought or consciousness. Those perceptions which enter with most force and violence
we may name impressions; and under this name I comprehend all our sensations,
passions, and emotions, as they make their first appearances in the soul. By
Ideas I mean the faint images of these in thinking and reasoning; such as, for
instance, are all the perseptions excited by the present discource, excepting
only those which arise from the sight and touch, and excepting the immediate
pleasure or uneasiness it may occasion”.
Selain
menolak imaji tentang ide-ide bawaan, Hume juga tidak menggunakan rasio dalam
melaksanakan sikap positif, melainkan dengan menggunakan perasaan moral. Imaji
manusia menurut Hume adalah makhluk sosial, sehingga manusia akan dengan
cepatnya meraskan simpati terhadap orang lain secara spontan. Dengan rasa
simpati ini, manusia akan merasa bahagia jika orang lain bahagia, dan
sebaliknya jika orang lain tidak bahagia maka dia juga akan sedih.
Immanuel
Kant membedakan imajinasi reproduktif dan produktif. Yang terdahulu menggunakan
data yang kacau balau dari pancaindera dan memberikan kita keseluruhan obyek.
Imajinasi model ini membuat lengkap apa yang tidak lengkap pada objek-objek
yang diindera. Imajinasi produktif lebih dari imajinasi reproduktif. Imajinasi
produktif merupakan kekuatan yang memungkinkan kategori-kategori mengatur atau
menata bahan dari intuisi. Oleh karena itu, imajinasi produktif memungkinkan
suatu kesatuan dunia dan memungkinkan pengertian. Dan imajinasi produktif juga
merupakan kondisi untuk kebaruan.
Sartre membedakan imajinasi dengan persepsi. Sartre
mengatakan bahwa antara imajinasi dan persepsi tidak ada perbedaan mendasar
terhadap objek yang imajinasikan dan dipersepsi. Lebih lanjut disebutkan bahwa
imajinasi lebih spontan, kreatif, dan produkstif dibandingkan dengan persepsi.
Imajinasi akan menunjukkan kebebasan manusia dalam berpikir. Sedangkan persepsi
lebih kepada pendapat seseorang terhadap suatu hal, persepsi merupakan salah
satu buah hasil dari pembentukan imajinasi yang dilakukan seseorang.
Sedangkan
Samuel Taylor Coleridge membagi imajinasi ke dalam dua bagian, angan-angan dan
imajinasi konstruktif. Angan-angan sangat mirip dengan imajinasi gabungan dari
Hobbes. Tetapi imajinasi konstruktif lebih dari sekedar asosiasi-asosiasi acak
dan pada hakikatnya menciptakan dunianya sendiri dengan menyusun detail-detail
ke dalam kesatuannya sendiri menurut rencananya sendiri yang terkendali.
Kemampuan manusia macam inilah yang dia sebut sebagai daya esemplastik
(menyusun menjadi kesatuan).
Dalam
karyanya seperti La Terre et les reveries
de ka volonte (Bumi dan khayalan kehendak), Bachelard beberapa kali merujuk
ke puisi dan sastra dari tradisi kultural Barat yang digunakan untuk
menggambarkan karya imajinasi
(Lechte, John: 19). Pernyataan Bachelard ini sejalan dengan pendahuluan di atas
bahwa salah satu bentuk karya imajinasi adalah seni, dalam hal ini seni yang
dimaksud Bachelard adalah puisi dan sastra. Imajinasi adalah medan dari citra
(imaji) dan hal ini harus dibedakan dengan penerjemahan dunia eksternal ke
dalam konsep. Imajinasi menghasilkan imaji dan menjadi imajinya, sedangkan
pikiran melahirkan konsep. Imaji memang sangat penting dalam pembentukan
imajinasi, akan tetapi jika tidak ada imajinasi maka imaji akan layu dan
kemudian akan mati, yang dimaksud layu dan mati disini adalah imaji itu akan
hilang tertutup oleh dirinya sendiri. Imaji atau citra ini memiliki sifat yang
tidak transparan, dengan ketidaktransparanan ini menjadikan imaji atau citra
akan bersifat subjektivitas yaitu akan berbeda setiap orangnya. Pendapat orang
mengenai imaji suatu hal dengan pendapat orang akan berbeda, karena rasa mereka
melihat sesuatu juga akan berbeda.
Sedangkan
dalam karya-karyanya Christian Metz selalu berpandangan bahwa kisah filmis,
atau materi subjek, selalu disadari melalui imaji atau bayangan, dan yang
terakhir ini meskipun merupakan unsur pokok pemuasan, namun bukan yang
mengungkapkan apa isi film itu (Lechte, John: 132). Yang dimaksudkan disini adalah
dalam menonton dan menikmati sebuah film, imaji tidak mungkin mengungkapkan
semua kisah yang ada di film tersebut. Imaji film selalu tertata dengan cara
tertentu, mereka tidak pernah muncul dalam bentuk deskriptif yang mentah,
meskipun urutan-urutan deskriptif bisa muncul dalam sebuah diagesis film. Di lain sisi, Metz berpendapat bahwa imaji
film lebih cocok dengan pernyataan (enonces),
atau tindak wicara, daripada kata-kata karena, tidak seperti kata-kata,
bayangan ini berjumlah tidak tertentu dan diciptakan oleh pembuat film/
pembicara. Imaji bukanlah sebuah kata, tapi imaji dibentuk dengan menggunakan
prosedur untuk mengkaitkan imaji satu dengan imaji yang lainnya supaya
berkesinambungan dan akan menjadikan sebuah karya film yang mengesankan dan baik
jika ditonton seseorang.
Bagi
Michele Le Doeuff, imaji atau citra semacam (pulau, kabut, gunung es, lautan
penuh badai, dan sebagainya) yang ada dalam suatu naskah filosofis tidak bisa
ditafsirkan secara metaforis begitu saja. Seperti yang dikatakan ole Immanuel
Kant dalam bukunya John Lechte (132):
“lingkup”
pemahaman itu adalah suatu pulau yang dikelilingi oleh batas-batas alami yang
tidak bisa diubah. Ini adalah suatu pulau kebenaran – nama yang mempersona! –
dikelilingi oleh lautan luas dan penuh badai, kampung halaman dari ilusi,
dimana banyaknya pantai penuh kabut dan gunung es yang mencair memberi gambaran
menyesatkan tentang pantai yang terletak lebih jauh, terus-menerus menyesatkan
para pengelana dengan harapan-harapan baru yang kosong, dan membawanya ke dalam
perjuangan yang tidak pernah ingin ditinggalkannya tetapi juga tidak pernah
diselesaikannya.
Imaji
dijelaskan dengan dua cara, yang pertama adalah dilihat sebagai tanda
bangkitnya bentuk pemikiran yang primitif atau bisa juga disebut dengan pemikiran
anak-anak (pemikiran polos, tidak mendasar serta tidak bisa menghubungkan satu
hal dengan hal yang lainnya). Cara yang kedua adalah dilihat sebagai suatu hal
yang memiliki kejelasan intuitif, seolah imaji ini secara langsung bisa
mengungkapkan pemikiran filsuf yang bersangkutan. Kejelasan intuitif ini bisa
diartikan dengan kejelasan yang secara intuisi saja kita bisa mengerti apa yang
dimaksudkan bukan hanya dengan pemikiran primitif secara reflektif yang tidak
memiliki dasar.
Sumber
kepuasan secara par excellence menurut
Maurice Blanchot merupakan imaji, dan cukup menarik bahwa citra ini merupakan
cerminan dari objek yang muncul secara tidak problematis. Citra yang pada
dasarnya bersifat visual, sebenarnya adalah satu cara untuk menangkap objek
melalui pengambilan jarak, atau upaya mengobjekkan. Imaji adalah kedekatan yang
timbul melalui pengambilan jarak tersebut. Oleh sebab itu, kesendirian,
keterpikatan, imaji, dan penglihatan adalah rangkaian gagasan yang membentuk
praktek penulisan Blanchot. Blanchot juga memisahkan imaji dari makna dan
menghubungkannya dengan keadaan mabuk.
Imaji
sendiri selalu membawa imaji. Apa yang dihasilkan pertama kali oleh imajinasi
adalah imaji. Oleh karenanya, imaji inilah yang sesungguhnya memegang peranan
penting dalam hal korespondensi interaksional antar objek. Imaji adalah penentu
sejauh mana kebenaran itu memang dapat dipertanggungjawabkan. Kebenaran inilah
yang merupakan asumsi untuk menantikan penyelidikan seperti kata Nietzche.
Hubungan antara imaji dan kebenaran adalah kebenaran suatu imaji adalah
korespondensi dengan realita tertentu didunia ini di luar dirinya sendiri.
Mengenai
kuatnya karakter imaji-imaji sebagai objek-objek imajerial yang menentukan
objektivitas imajinasi, Ludwig Wittgenstein menyatakan bahwasanya imaji
mestilah lebih mirip dengan objek daripada gambar manapun. Sebab, bagaimanapun
miripnya membuat gambar yang mewakili sesuatu itu maka akan ada selalu gambar
yang mewakili hal yang lain juga. Akan tetapi secara singkatnya, imaji akan
selalu merupakan imaji atas suatu hal dan bukan atas hal yang lain. Jadi imaji
dapat dipandang sebagai sebuah kemiripan yang sangat sangat mirip. Hal ini
sejalan dengan pemikiran Plato, Plato imaji tentang seekor singa akan mempunyai
hubungan dengan imaji satu, sedangkan imaji satu sendiri akan mempunyai
hubungan dengan imaji ganjil. Contoh lainnya adalah imaji api akan mempunyai
hubungan dengan imaji panas, imaji panas akan mempunyai hubungan dengan merah,
dan lain sebagainya.
Maka
dalam proses pengetahuan sebetulnya yang paling penting adalah
mengkomunikasikan dan menginteraksikan imaji-imaji, karena imaji-imaji itu
sendiri pada dasarnya dapat saling melengkapi satu sama lain seperti yang sudah
dijelaskan di atas. Hal ini juga dikatakan oleh Kenneth E. Boulding sebagai
berikut (Tedjoworo: 114):
“Kita
dapat menelaah konsistensi, koherensi, nilai yang mempertahankan, stabilitas,
dan kekuatan yang mengorganisasi di dalam sebuah imaji, sebab imaji itu dapat
menyelidiki imaji. Kita tak penah dapat menyelidiki korespodensi imaji terhadap
realitas, baik di wilayah nilai maupun di wilayah fakta”.
Dengan
kata lain, sebuah konsep itu harus bersifat figuratif agar dapat dipahami dan
disampaikan secara interaksional sebagai sebuah pengetahuan. Ini berkebalikan
dengan filsafat Hegel yang justru menerjemahkan imaji-imaji ke dalam
konsep-konsep (Tedjoworo: 138):
“Sementara
seluruh bangunan filsafat Hegel diabdikan untuk menerjemahkan imaji-imaji ke
dalam konsep-konsep, masyarakat justru berkembang pesat dalam imaji-imaji
dengan cara tertentu sehingga konsep selalu tampil secara figuratof. Menurut
Hegel, konsep itu sesungguhnya terwujud dalam ruang dan waktu. Dengan istilah
lain, objektivitas selalu bersifat konseptual, atau tyang real tiada lain
adalah ide. Dalam masyarakat, ide menjadi imaji dan yang real bersifat
imajiner. Bagi Hegel, dari atas ke bawah semuanya adalah konsep, bagi
masyarakat yang melihatnya segalanya adalah imaji dari tataran atas sampai ke
bawah”.
Karl
Marx mengatakan sebuah ungkapan yang cukup mencengangkan, dia mengatakan bahwa
“imajinasi mestinya tidak disiplin. Itulah sebabnya sebuah universitas tidak
dapat mencakupnya”. Kata “tidak disiplin” ini bisa diartikan sebagai “tidak
dapat dipertanggungjawabkan”. Lalu kenapa kemudia imaji yang masuk dalam ranah
universitas tidak dapat dipertanggungjawabkan? Hal ini mungkin karena dalam
pembelajaran di Universitas ada beberapa hal yang dibatasi terhadap disiplin
ilmu tertentu. Sedangkan imajinasi itu sendiri tidak disiplin karena sifatnya
yang bebas, hal itulah yang mungkin membuat imaji sulit untuk mendapatkan
tempat di Universitas. Akan tetapi ada seorang tokoh yang bernama Fiumara, dia
mengungkapkan keheranannya karena pernyataan Karl Marz tersebut. Fiumara
menyatakan bahwasanya (Tedjoworo: 140):
“Masih
menjadi kenyataan yang mengherankan bahwa teori-teori tentang makna dan
rasionalitas yang kini dominan tidak menawarkan perlakuan serius apapun
terhadap imajinasi metaforis. Kita tidak akan menjumpainya didiskusikan dalam
teks-teks standar tentang semantik manapun atau di berbagai stusi yang sangat
berpengaruh manapun tentang rasionalitas. Karya-karya semacam ini tentu saja
mengakui bahwa imajinasi memainkan peranan dalam penjelajahan, penemuan, dan
kreativitas, tetapi tidak pernah menelaahnya sebagai yang (ko)esensial terhadap
struktur rasionalita”.
Kategori-kategori
verbal yang biasa kita pahami ternyata adalah representasi imaji-imaji itu
sendiri, sedangkan definisi adalah imaji-imaji berhubungan dengan masa lalu,
identifikasi merupakan imaji-imaji yang berhubungan dengan masa kini, dan
direksi merupakan imaji-imaji yang berhubungan atau bisa melihat ke masa depan.
Jeff Donaldson menegaskan agar setiap kata dikembalikan pada imaji itu sendiri.
Berkikut adalah pendapat dari Jeff Donaldson mengenai imaji (Tedjoworo: 141):
“Kata-kata
tak dapat berbuat banyak terhadap bentuk (formal) dan muatan imaji kita.
Perhatikan imaji. Kata-kata adalah upaya untuk menetapkan darimana kita berasal
dan memperkenalkan bagaimana dan kemana kita menuju. Perhatikan imaji.
Kata-kata tidak mendefinisikan atau menggambarkan imaji-imaji yang relevan.
Imaji-imaji yang relevan mendefinisikan atau menggambarkan dirinya sendiri.”
Dari
pembahasan diatas terlihat bahwa imaji sangat penting dalam pembentukan
imajinasi seseorang. Istilah imaji sendiri berbeda-beda tergantung dengan para
filsuf yang mengatakannya. Imaji berhubungan dengan masa lalu, masa kini, dan
masa yang akan datang, hal ini berarti imaji tidak terbatas oleh ruang dan
waktu. Imaji akan terus berkembang. Dan untuk menghidupkan imaji supaya tidak
layu dan akhirnya mati, maka imaji itu harus dibentuk sebuah imajinasi. Imajinasi-imajinasi
seseorang akan membawa manusia pada perubahan yang signifikan pada kehidupan
manusia kelak. Jika kita memiliki imaji tentang benda dan perpindahan dan
kemudian membentuk sebuah imajinasi tentang teleportasi benda. Teleportasi ini
merupakan pemindahan sesuatu materi dan satu titik ke titik lalui melalui
sebuah proses penguraian dan pengembalian kembali ke tempat asalnya. Seperti
yang banyak digambarkan pada film barat tentang teleportasi, penulis film ini
berarti sudang menggunakan imajinasi untuk menghubungkan imaji-imaji. Mungkin
teleportasi pada zaman dulu masih mustahil, tapi pada zaman sekarang masih
terus dilakukan penelitian tentang teleportasi dan mungkin pada zaman yang akan
datang benar adanya bahwa teleportasi bisa dilakukan. Teleportasi ini juga
sebenarnya sudah ada pada Al-Qur’an surat Al- Israa’ ayat 1 yaitu peristiwa
Isra’ dan Miraj nya Rasulullah Muhammad SAW:
Artinya:
Maha
Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar
kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami.
Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Selain itu juga terdapat peristiwa
pemindahan singgasana Ratu Bilqis dari Negeri Jaba yang tertulis pada Al-Qur’an
surat An Naml ayat 38-40:
Artinya:
38)
Berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian
yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku
sebagai orang-orang yang berserah diri". 39) Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan
jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu
sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya Aku benar-benar Kuat
untuk membawanya lagi dapat dipercaya". 40) Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari
AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu
berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di
hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba Aku
apakah Aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan barangsiapa yang
bersyukur Maka Sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan
barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha
Mulia".
Dua
kisah dalam Al-Qur’an di atas memang merupakan kuasa Allah SWT, tapi hal ini
mungkin saja bisa dilakukan oleh manusia karena memang manusia sudah
diperintahkan oleh Allah SWT untuk berpikir, tentu saja ini jikalau Allah SWT
menghendakinya. Berpikir untuk memajukan kehidupan umat manusia dan membawa
kebermanfaatan bagi umat. Hal ini merupakan salah satu fungsi imajinasi dalam
ilmu pengetahuan, yaitu imajinasi membantu ilmuwan untuk mengetahuai dunia
dengan memasukkan hipotesis, konsepsi, gagasan untuk bereksperimen. Dalam
bidang seni, imajinasi memegang peranan penting secara istimewa. Bagi seorang
seniman, imajinasi tidak hanya membantunya untuk suatu generalisasi tetapi
sebagai kekuatan yang memanggilnya agar menghidupkan gambar-gambar seni yang
penuh dengan arti didalamnya, yang mencerminkan realitas secara artifisial.
Kekuatan
imajinasi memainkan peranan yang sangat penting sebagai
imajinasi kreatif. Ini perlu untuk pemikiran yang produktid, untuk inspiratif
yang penting bagi ilmu pengetahuan, seni, teknik dan agama.Dalam halnya
manusia, semua pemikiran baru secara alamiah membutuhkan imajinasi dengan
kebebasannya untuk bermain dalam ide-ide. Tentu saja, inspirasi baru harus
diuji dengan teliti dan dites sungguh-sungguh, karena unsur irasional dalam
menggunakan imajinasi dapat menghasilkan baik sesuatu yang omong kosong maupun
karya seorang jenius. Tidak seperti mimpi yang fantastik yang membuat orang
keluar dari dunia nyata, imajinasi yang dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat
merupakan suatu kualitas yang sangat bernilai yang menolong kita untuk mengenal
hidup dan mengubahnya.
Pembahasan selanjutnya
adalah mengenai imaji apabila dilihat dari segi filsafat maka akan diperoleh
struktur seperti berikut ini.
Awam
|
Gambar
|
Ideologi
|
Identitas, kepercayaan
|
Budaya
|
Karya, Keindahan, Keselarasan
|
Ada
|
Karya
|
Mengada
|
Yang mungkin ada
|
Pengada
|
Sarana ritual
keagamaan
|
Sekolah
|
Sumber ilmu
|
Guru
|
Perhitungan, pengelompokkan,
pengetahuan
|
Siswa
|
Kreatif
|
Metode
|
Kontekstual, Saintifik
|
Ujian
|
Soal
|
Kurikulum
|
Kurikulum
KTSP, kurikulum 2013
|
Formal
|
Angka dan bilangan
|
Epistemologi
|
Isi
|
Ontologi
|
Wadah dan isi
|
Estetika
|
Seni dan keindahan
|
Etika
|
Moral
|
Sosiologi
|
Budaya
|
Sosial
|
Bahasa
|
Politik
|
Negara
|
Psikologi
|
Imajinasi, kreatif, ilmiah, religius
|
Spiritual
|
Doa, kesucian, surga dan neraka,
akhirat
|
DAFTAR PUSTAKA
Boyer, Carl B. (1991).
A history of mathematics. NY, USA:
John Wiley & Sons.
Burton. (2006). The history of mathematics: an intoduction,
sixth edition. USA: The McGraw-Hill, Inc.
Haza’a, Salah
Kaduri., Dyastriningrum Subandiati, dan Ibnu Ngatoilah. (2004). Sejarah matematika klasik dan modern.
Yogyakarta: UAD Press.
Lechte, John.
(2001). 50 filsuf kontemporer.
(Terjemahan A. Gunawan Admiranto). NY, USA: Routledge.
Nata, Abuddin.
(2005). Filsafat pendidikan islam.
Jakarta: Gaya Media
Pratama.Saefullah,
Djaja. (2004). Pengantar filsafat.
Bandung: Refika Aditama.
Ravert, Jerome
R. (2009). Filsafat ilmu sejarah dan ruang
lingkup bahasan. (Terjemahan Saut Pasaribu). England: Oxford University
Press. (Buku asli diterbitkan tahun 1982)
Smith, Karl J.
(2012). The nature of mathematics 12th
edition. USA: Brooks/ Cole Cengange.
Tedjoworo.
(2001). Imaji dan imajinasi.
Yogyakarta: Kanisius.
Tjahjadi, Simon
Petrus L. (2004). Petualangan intelektual.
Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar