Kamis, 23 Juni 2016

Tugas 3 "Imaji"


PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT paling sempurna. Manusia diberikan kelebihan dari makhluh hidup ciptaan Allah SWT yang lainnya, yaitu otak yang dapat digunakannya untuk berpikir. Dengan kelebihan yang dimilikinya dari makhluk hidup lainnya, manusia diperintahkan untuk bepikir. Hal ini telah ditulis dalam Al-Qur’an:
Artinya:
Kalau sekiranya kami turunkan Al-Quran Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS. Al Hasyr: 21)

Artinya:
Dan dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya). (QS. An Nahl: 12)
Memahami disini diartikan bahwasanya harus berpikir untuk mengetahui segala sesuatunya. Dengan otak yang diberikan kepada manusia untuk berpikir, manusia seharusnya bisa membedakan mana hal yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Akan tetapi dalam berpikir juga harus dibatasi, terutama jika kita berpikir dalam suatu hal yang berbau spiritual atau keyakinan beragama.Jika dalam berpikir tidak dibatasi maka manusia tersebut akan menyimpang dari ajaran agamanya. Karena dalam hal spiritual dan keyakinan, banyak hal-hal yang bersifat ghoib dan tidak bisa ditangkap oleh nalar kita. Contohnya, adanya Allah SWT yang menciptakan seluruh alam semesta ini dengan seluruh isinya, adanya Surga dan Neraka, adanya kiamat besar sebagai tanda berakhirnya dunia ini dan masih banyak lagi hal-hal yang jika kita tidak mempercayainya dengan hati kita maka kita tidak akan pernah percaya hal tersebut, karena hal tersebut tidak bisa kita lihat dengan mata kepala kita.
Dalam proses berpikir ini terjadi pembentukan ide-ide manusia yang terbentuk dari imajinasi manusia dengan gabungan dari imaji-imaji (gambar-gambar) tentang suatu hal. Jika orang berpikir tentang surga dan neraka, yang wujudnya saja kita tidak ketahui seperti apa maka manusia hanya bisa mengimajinasikan surga dan neraka melalui gambar-gambar. Gambaran tentang surga dan neraka setiap orang tentang surga dan neraka mungkin saja akan berbeda tergantung dengan pemikiran mereka terhadap sesuatu. Dalam Al-Qur’an, surga digambarkan dengan sungai yang mengalir didalamnya, buah-buahan berlimpah dan isteri-isteri sholeh. Hal ini ditulis dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 25:

Artinya:
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang Suci dan mereka kekal di dalamnya.
Sedangkan Neraka digambarkan dengan sebuah tempat dengan api yang sangat membara dan menjulang tinggi. Hal ini ditulis dalam Al-Qur’an surat Al Mursalaat ayat 32 dan 33:

Artinya:
32) Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana. 33) Seolah-olah ia iringan unta yang kuning.
Gambaran-gambaran inilah yang kemudian para filsuf sering menyebutnya dengan imaji. Imaji-imaji ini akan membentuk sebuah imajinasi manusia berdasarkan dengan pengalaman manusia dan ide yang dimiliki oleh manusia.Imajinasimanusia dalam menciptakan sebuah pemikiran memerlukan beberapa bahan referensi untuk menghasilkan pemikiran yang objektif.Dalam hal ini imajinasi dalam diri manusia sangat diperlukan sebagai salah satu bahan pemikiran manusia.
Banyak orang mengartikan bahwa imajinasi sama dengan ingatan, akan tetapi sebenarnya imajinasi sifatnya lebih luas dan lebih liar dari sebuah ingatan. Imajinasi berbeda dengan ingatan (memory), imajinasi merupakan kemampuan untuk menggabungkan dengan bebas representasi dan ide. Imajinasi memanfaatkan bahan dalam ingatan dan menyusunnya dengan hukum asosiasi. Imajinasi sering ditempatkan pada tingkat melayani kreativitas rohani dengan mengarahkan perhatian secara bebas dan pasif. Imajinasi sering digunakan dalam beberapa hal yang berkaitan dengan mimpi, sandiwara, cerita-cerita dongeng dan mitos, dan dalam semua pemikiran yang sungguh-sungguh bersifat kreatif.
Contoh hasil kongkrit dari sebuah imajinasi manusia adalah karya seni, karena menurut Plato, Seni adalah tiruan alam.Dalam hal ini peran imajinasi dalam diri manusia sangat diperlukan untuk membentuk pola dan bentuk sebuah sebuah karya seni yang dideskripsikan oleh Plato.Karena karya seni menurut plato yang juga disepakati oleh aristoteles adalah sebuah tiruan, yang artinya ada modifikasi dalam membentuk ulang maka manusia akan melukiskan dalam angan-angan yang mulai menggabungkan antara dua objek yang saling berkaitan.Misalkan menggabungkan antara bentuk hewan dan manusia yang dijadikan satu sehingga menciptakan mahluk baru yang mungkin keadaan dialam semesta ini tidak nyata,Thomas Hobbes mencontohkanya seperti penyatuan antara kuda dan manusia yang sering disebut dengan centaurus. Centaurus merupakan salah satu tokoh dongeng yang amat terkenal dari zaman ke zaman.
Manusiadituntut untuk selalu produktif dan kreatif untuk selalu dapat bertahan dalam perkembangan zaman.Bila zaman dahulu mobil adalah hal sangat mustahil akan tetapi imajinasi manusia mengatakan mobil sangat mungkin ada,yang artinya imajinasi tak memiliki batasan zaman. Dan kenyataannya hal yang mungkin tidak akan ada menurut orang zaman dahulu, sekarang menjadi ada. Hal ini menunjukkan peranan penting seseorang dalam berimajinasi. Berimajinasi untuk memajukan kehidupan manusia.
Bila dirumuskan hubungan antara imaji, imajinasi, ide, karya dapat dilihat sebagai berikut:


 






Karya ini bisa hanya berbentuk konsep, bisa juga sudah berbentuk fisik (nyata berbentuk sebuah karya seni). Imajinasi sifatnya hanya berbentuk pemikiran, aplikasinya adalah karya, bisa karya seni maupun karya ilmu pengetahuan yang lainnya.Atau imajinasi juga bisa sebagai alat manusia untuk menciptakan suatu keadaan yang gembira dan senang.Imajinasi sebagai alat manusia untuk menciptakan suatu keadaan gembira dan senang bisa menggunakan sandiwara yang dilakukan oleh manusia tersebut. Sandiwara yang dilakukannya yaitu untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya sehingga akan menciptakan aura yang positif kemudian juga akan berdampak pada hati dan pikiran yang tenang dan damai sehingga kita akan merasakannya kegembiraan dan kesenangan. Selain sandiwara, imajinasi juga bisa dibentuk untuk menafsirkan mimpi yang kita alami. Fungsi imajinasi dalam mimpi menghadirkan kesadaran dengan rangkaian gambar-gambar yang tampaknya tidak teratur. Gambar-gambar (imaji-imaji) yang dihasilkan dalam mimpi tersebut akan terlihat atau tampak dengan sendirinya, kita tidak bisa merubah gambar-gambar dalam mimpi kita sesuai dengan keinginan kita sendiri. Sehingga berakibat bahwasanya kegiatan yang disadari oleh kita (manusia) tidak akan ada dalam mimpi kita, karena mimpi yang kita alami tidak bisa kita kontrol sesuka hati kita. Walaupun demikian, mimpi yang kita alami tersebut akan memberikan efek kepada kita yang membawa nilai-nilai yang positif maupun negatif. Jika kita dapat merubah mimpi yang buruk menjadi kekuatan kita maka akan menumbuhkan aura yang positif, seperti akan menumbuhkan inspirasi kita melakukan sesuatu atau bahkan kita dapat menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi dengan memanfaatkan mimpi yang kita alami itu. Terkadang juga kita menafsirkan mimpi abstrak yang kita alami atau bisa dikatakan mimpi kita tidak jelas apa maknanya. Dengan mimpi yang tidak jelas itu, kita akan menghubungkan imaji-imaji dalam mimpi tersebut kemudia kita mengimajinasikan apa arti dari mimpi kita tersebut.
Selain itu, imajinasi juga sering untuk menceritakan dongeng dan mitos. Terutama di Indonesia, di Indonesia terdapat banyak sekali cerita dongeng dan mitos yang telah dibuat masyarakat. Contohnya Candi Prambanan, dongeng terbentuknya Candi Prambanan adalah karena Roro Jonggrang memberikan syarat pernikahan kepada Bandung Bandawasa dengan dibuatkannya 1000 candi. Selain dongeng itu juga ada sebuah mitos, bahwa pasangan yang datang ke Candi Prambanan dalam waktu yang tidak lama hubungannya akan retak. Dongeng tentang Candi Prambanan ini mungkin terbentuk karena imaji-imaji yang digunakan seseorang dengan Candi Prambanan tersebut, karena candi yang berjumlah 999 itu membuat masyarakat mengimajinasikan bahwasanya salah satu Candi tersebut belum jadi seperti cerita pada dongeng tersebut. Dan mitos tentang hubungan yang retak tersebut ada, karena karena imaji seseorang tentang Candi Prambanan yang menggambarkan kemarahan Bandung Bandawasa yang akhirnya mengutuk Roro Jonggrang menjadi sebuah patung dan Roro Jonggrang akan membalaskan dendamnya. Imaji tentang kemarahan dan balas dendam itulah yang akhirnya membuat mengimajinasikan bahwa setiap pasangan yang masuk ke dalam Candi Prambanan tersebut hubungannya akan retak.
Dari penjelasan di atas telah disinggung bagaimana peranan penting imaji dalam membentuk sebuah imajinasi yang kemudian akan membetuk ide dan sebuah karya. Selain itu bagaimana menggunakan imaji-maji untuk membentuk sebuah imajinasi. Kemudian akan dibahas tentang imaji lebih dalam menurut para filsuf dari zaman pra sejarah sampai zaman kontemporer. Penjelasannya sebagai berikut:

PEMBAHASAN

Dari pendahuluan di atas terlihat jelas bahwa konsep tentang imaji sudah ada sejak manusia itu lahir yaitu semenjak zaman Nabi Adam AS. Nabi Adam dituntut untuk berpikir seperti yang tercantum pada surat Al-Hasyr ayat 21 dalam Al-Qur’an di atas. Dengan penggabungan ide-ide yang membentuk sebuah pemikiran yang matang untuk mengubah dunia ini menjadi lebih baik dan maju. Dalam berpikir ini sebenarnya konsep imaji sudah ada secara tidak langsung karena berpikir itu sendiri merupakan serangkain proses yang didalamnya ada pembentukan imaji-imaji menjadi sebuah imajinasi kemudian imajinasi tersebut menjadi sebuah ide dan ide tersebut akan menjadi sebuah karya. Karya disini bisa berupa konsep maupun berupa fisik seperti yang sudah dijelaskan pada pendahuluan di atas.
Selanjutnya zaman prasejarah, pada zaman Babilonia, Mesir kuno, dan Yunani konsep imaji juga sudah ada. Buktinya ilmu pengetahuan sekarang sudah berkembang sangat pesat. Tanpa adanya imaji-imaji yang membentuk imajinasi seseorang tersebut mustahil ilmu pengetahuan akan berkembang. Dari zaman Babilonia yang mengenal sistem angka dan mengimajinasikan notasi angka tersebut dengan bilangan berbasis 60 yaitu sistem seksadesimal. Sistem notasi ini mampu menampilkan bilangan pecahan dan terbukti menjadi dasar perkembanan bilangan matematika dengan order yang lebih tinggi. Imaji-imaji pada zaman Babilonia tentang sistem simbol sangat berbeda dengan sekarang, sistem simbol pada zaman Babilonia masih belum praktis. Selain sistem simbol, pada zaman Babilonia juga berkembang tentang konsep teorema Pythagoras. Suku Babilon mengimajinasikan hubungan-hubungan antara angka-angka yang terdapat dalam segitiga dan mereka mengimajinasikan bagaimana cara menghitung radius sebuah lingkaran melalui segitiga sama sisi. Mereka membuat imaji-imaji tentang lingkaran dan segitiga kemudian menjadikan imajinasi mereka bagaiman untuk menghubungka keduanya. Walaupun secara konsep teorema pythagoras sudah ada pada zaman Babilonia, akan tetapi yang terkenal dengan teorema pythagoras ada seorang filsuf yunani yang bernama Pythagoras. Kata “pythagoras” dalam teorema pythagoras karena mengambil nama dari filsuf yang bernama Pythagoras. Kenapa Pythagoras lebih dikenal daripada suku Babilonia? Hal ini dikarenaka Pythagoras yang membuat teorema pythagoras ini lebih terstruktur rapi dan mudah dimengerti oleh khalayak banyak karena sudah dibukukan. Imaji-imaji yang dibentuk oleh Pythagoras ini merupakan imajinasi yang dikembangkan berdasarkan pengalaman yang dimilikinya.
Berbeda dengan zaman Babilonia yang menotasikan angka dengan bilangan berbasis 60, sistem bilangan zaman Mesir Kuno memiliki basis 10 yaitu sistem hieroglyphs.  Selain itu, sistem bilangan yang digunakan disusun oleh bilangan hieratik. Bilangan hieratik tidak membentuk suatu sistem posisional sehingga nilai angka-angka tertentu dapat dituliskan dalam banyak susunan. Dengan sistem nilai angka ini dapat dibentuk dari sedikit simbol, lebih praktis dibandingkan sistem bilangan yang digunakan pada zaman Babilonia. Selain imaji tentang sistem bilangan, pada zama Mesir Kuno juga terdapat Kalender Mesir Kuno. Kalender ini awalnya digunakan untuk mengetahui kapan sungai Nil akan banjir. Namun karena kebermanfaatannya, kalender ini juga digunakan untuk kalender sipil dengan perubahan menjadi basis kalender Julian dan Gregorian. Kalender ini merupakan sebuah karya nyata dari sebuah imajinasi seseorang yang terbentuk dari imaji-imaji. Dari kedua zaman ini terlihat bahwa imajinasi seseorang berbeda-beda dan akan terus berkembang tidak terbatas ruang dan waktu.
Setelah zaman Mesir Kuno, ada zaman Yunani. Pada zaman Yunani terdapat beberapa tokoh yang terkenal seperti Thales, Anaximandros, Heraklitos, Permenides, dan Demokritos. Thales mengimajinasikan prinsip awal segala sesuatu adalah air. Sedangkan Anaximandros yang merupakan murid dari Thales, menentang keras pendapat dari Thales tersebut. Anaximandros mengimajinasikan bahwa prinsip segala sesuatu tidak terbatas. Setelah Thales dan Anaximandros muncul seorang filsuf yang bernama Heraklitos yang mengimajinasikan segala sesuatunya itu mengalir (panta rhei) dan berubah, jadi tidak ada satupun yang memiliki sifat yang tetap atau mantap. Hal ini sejalan dengan pemikiran Thales yang mengibaratkan segala sesuatu itu seperti air, air akan mengalir karena begitulah sifat alami dari air. Sedangkan Parmenides memiliki imajinasi yang berbeda dengan Heraklitos, menurutnya segala sesuatu yang ada itu tidak bergerak, tidak berubah, dan tidak bisa dihancurkan.
Kemudian ada salah satu filsuf Yunani yang ajarannya masih dapat ditemukan zaman sekarang, dia adalah Demokritos. Aliran filsafatnya bernama Atomisme. Demokritos mengimajinasikan seluruh realitas tercipta dari gugusan unsur-unsur terkecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (Tjahjadi, Simon Petrus L: 29). Istilah imaji kadang dipakai untuk menerjemahkan kata Yunani eidola(gambaran-gambaran kecil), sebagaimana Demokritos yang menyebut kerangka-kerangka yang dikirim oleh objek-objek kepada pancaindera kita dalam persepsi. Gambaran-gambaran ini masuk ke dalam pancaindera kemudian disalurkan ke arah jiwa yang juga terdiri dari atom-atom.
Dari zaman pra sejarah kita beranjak ke zaman klasik, pada zaman ini terdapat beberapa tokoh seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, dan Epikuros. Karya-karya Sokrates sangat banyak seperti kebenaran, teknik, ilmu pengetahuan, negara, keadaan asal, dan dewa. Akan tetapi karya-karya dari Sokrates ini tidak dibukukan, ajarannya hanya disampaikan secara lisan kepada murid-muridnya dan orang-orang yang ada disekitarnya. Sokrates merupakan salah satu yang mengembangkan daya imajinasinya untuk memikirkan sesuatu. Dia berhasil menggabungkan imaji-imaji untuk membentuk imajinasi yang kreatif. Karyanya tentang kebenaran selalu dipegang teguh olehnya, sampai hayatnya. Dia meninggal ketika dia sedang dipenjara, walaupun ada muridnya yang ingin membebaskannya dari penjara tapi Sokrates jelas-jelas menolaknya. Karena menurutnya, imaji tentang kebenaran hukum itu tidak akan pernah salah, yang salah bukan hukumnya melainkan orang yang terlibat dalam hukum tersebut.
Plato merupakan murid dari Sokrates, sehingga filsafatnya sangat dipengaruhi oleh pandangan gurunya. Menurut Plato, ide adalah citra pokok dan perdana dari realitas (dari kata Yunani, eidos yang berarti gambar atau citra. Jadi tidak boleh disamakan dengan arti ide menurut bahasa Indonesia yang berarti gagasan, cita-cita) (Tjahjadi, Simon Petrus L: 48).Jika gurunya, yaitu Sokrates hanya mendalami tentang moral manusia, Plato mempeluas bidang pencariannya sampai pada hakekat umum dari segala sesuatu.Plato juga berhasil mendamaikan pemikiran dari Herakleitos dan Parmenides.  Herakleitos yang beranggapan bahwa segala sesuatu berubah, Plato mengatakan ‘itu memang benar, tetapi hanya berlaku di dunia inderawi’. Sedangkan Parmenides yang beranggapan segala sesuatu itu sempurna, utuh, dan mantap, Plato menjawab ‘itu benar, tetapi berlaku hanya untuk dunia rasional atau dunia ide-ide’ (Tjahjadi, Simon Petrus L: 50).
Istilah yunani phantasma diterjemahkan ke dalam bahasa inggris menjadi phantasm atau image. Aristoteles menyebut ide-ide potensial sebagai phantasmata. Aristoteles merupakan murid Plato selama 20 tahun. Dan dalam tradisi Aristotelian-Thormistik umumnya intelek aktif mempengaruhi phantsma untuk menghasilkan kodrat universal. Kodrat manusia hidup itu untuk memperoleh kebahagian, danAristoteles menganggap kebahagiaan atau eudaimonia sebagai nilai final atau tujuan hidup. Hal ini sejalan dengan kedua pendahulunya, yaitu Sokrates dan Plato, Aristoteles juga mengakui bahwa tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia di satu pihak, apabila sudah bahagia, manusia tidak memerlukan apa-apa. Kebahagiaan itulah yang baik dan bernilai pada dirinya sendiri. Drama merupakan salah satu kesenian yang dibentuk dengan adanya imajinasi terhadap imaji-imaji. Menurut Aristoteles kesenian (puisi, drama) sebagai peniruan konkret dan seni harus merupakan suatu proses pemurnian. Yang dimaksud dengan pemurnian disini adalah setelah melihat seni tersebut hati dan pikiran orang yang menontonnya akan jernih dan damai.
Epikuros juga menggunakan istilah imaji dengan eidola, sebagaimana dengan filsuf sebelumnya yaitu Demokritos. Epikuros menyebut kerangka-kerangka yang dikirim oleh objek-objek kepada pancaindera kita dalam persepsi. Berbeda dengan Aristoteles, Epikuros mengatakan tujuan akhir hidup adalah kenikmatan dan dia mendefinisikan kenikmatan sebagai keadaan negatif, yakni tidak adanya rasa sakit dan kegelisahan hidup. Akan tetapi, yang jauh lebih utama dari kenikmatan adalah ketenangan jiwa (ataraxia) yang diibaratkan seperti tenangnya laut manakala tidak ada angin bertiup.
Seiring berkembangan zaman, imaji seseorang tentan segala sesuatu juga pasti akan berubah. Beranjak dari zaman prasejarah menuju zaman pertengahan. Zaman pertengahan ini terdapat hubungan erat antara agama kristen dengan filsafat. Ajaran tentang dunia menurut Aurelius Augustinys berhubungan dengan ajarannya mengenai ide-ide sebagi citra awal segala sesuatu. Imaji yang membentuk ide-ide berasal dari Allah dan di dalamnya ada roh atau budi. Dengan kata lain, dunia diciptakan dengan rancangan atau ide-ide dalam budi Allah. Imaji-imaji Augustinus tentang dunia adalah materi, waktu, dan bentuk yang merupakan ide-ide abadi. Dan dalam imajinasinya itu dia mengatakan bahwa terdapat materi yang tidak mempunyai bentuk tertentuk yang kemudian disebutnya rationes seminales, yaitu suatu materi yang mengandung prinsip aktif dari semua makhluk hidup berasal dan berkembang. Contohnya, seekor burung sudah ada di dalam telur.
Pada tahun 800-1200, kebudayaan Islam berhasil memelihara warisan karya-karya para filsuf dan ilmuwan Yunani Kuno dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Dan salah satu seorang pemikir Islam yang berjasa dalam memperkenalkan pemikiran Aristoteles ini adala Muhammad Ibn Rushd. Ibn Rushd adalah seorang pemikir Islam yang mempengaruhi dunia barat dengan komentarnya yang luas atas buku-buku karya Aristoteles. Dalam filsafatnya dia menggabungkan Al-Qur’an dengan karya-karya Aristoteles. Untuk menggambarkan makna yang sebenarnya dari Al-Qur’an hanya Allah yang mampu memahaminya dengan tepat. Ayat-ayat pada Al-Qur’an yang sekiranya mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan akal budimaka ayat-ayat dalam Al-Qur’an harus ditafsirkan menurut makana yang dapat diterima oleh akal budi itu (filsafat Aristoteles). Al-Qur’an dan filsafat Aristoteles adalah satu kebenaran sehingga konsekuensinya iman dan akal tidak mungkin bertentangan.
Selain Ibn Rushd yang menggunakan filsafat Aristoteles selanjutnya adalah Thomas Aquinas. Thomas Aquinas menggunakan imaji batu marmer dan kuda kemudian yang menjadikannya sebuah patung kuda yang terbuat dari batu marmer. Materi keduanya sama yaitu batu marmer yang satu batu marmer yang berbentuk bongkahan besar, sedangkan yang satunya batu marmer yang sudah berbentuk seekor kuda. Jika kita membuat seekot kuda dengan bahan plastik, maka materi keduanya berbeda tapi bentuknya sama yaitu seekor kuda, di sini kita melihat adanya individuasi. Filsafat Aristotels tentang akal, sepeti halnya Ibn Rushd yang menggabungkan akal dan iman untuk mempercayai adanya Tuhan. Akan tetapi, ia menolak bukti apriori tentang adanya Tuhan. Kemudian Aquinas mengambil cara lain untuk menunjukkan adanya Tuhan, yaitu dengan imaji tentang gerak, sebab-akibat, “ada” yang niscaya, derajat kualitas, dan finalitas. Dan imaji tentang finalitas hidup adala kebahagiaan. Namun kebahagiaan itu tidak terletak dalam pengembangan dan penyempurnaan hidup di dunia ini sebagaimana diajarkan oleh Aristoteles, melainkan jauh melampaui itu, yakni kebahagiaan di alam baka.
Kemudian ada filsuf baru yang mengungkapkan tentang imaji. Baik Francis Bacon maupun Thomas Hobbes menggunakan istilah phantasm untuk mengatakan imaji. Imaji Hobbes tentang manusia adalah dengan menguhubungkannya dengan serigala. Menurutnya manusia harus bersikap seperti serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Agar dirinya selamat, serigala yang licik tentu akan lebih suka membunuh saingannya dalam keadaan lengah sebelum ia sendiri terbunuh. Manusia akan tetap seperti serigala yang tidak ingin dan tidak pernah mampu membuat perjanjian, apalagi untuk berusaha menepatinya.
Tipe analisis yang diajukan oleh kaum empiris dekat dengan arti harfiah kata imajinasi ini, kaum empiris inggris, misalnya mengartikan imajinasi sebagai pengolahan kembali bahan-bahan yang diperoleh indera. Dalam kaitan ini, Thomas Hobbes lebih mencolok dibanding dengan rekan-rekannya yang lain. Hobbes membagi imajinasi kedalam tipe simpel dan gabungan. Contoh imajinasi tipe simpel adalah perbuatan mengimajinasi yang dilakukan seseorang atau seekor kuda yang sudah dilihat sebelumnya. Sedangkan contoh dari imajinasi tipe gabungan adalah perbuatan membayangkan seekor centaurus (makhluk setengah kuda dan setengah manusia) dengan menggabungkan penglihatan terhadap seseorang dan penglihatan terhadap seekor kuda.

Tetapi kaum empiris umumnya mengandalkan sesuatu yang mirip images (imaji-imaji). Misalnya saja, ide-ide simpel Descartes, Locke, impresi Hume. Dan maksudnya ialah memberi bahan kepada prinsip-prinsip asosiasi agar berubah menjadi ide-ide.Imaji “ada” Descartes adalah ketika seorang sedang berpikir, jika seorang berpikir maka menunjukkan seseorang itu ada dan hakikat manusia adalah pemikiran (res cogitans). Ini sesuai dengan pernyaan Descartes (Tjahjadi, Simon Petrus L: 207):
“Benar, aku hanyalah makhluk yang berpikir...Makhluk yang bisa meragukan, mengamati, membenarkan, menolak, menginginkan, tidak menginginkan, berimajinasi, dan merasakan”.
Selain imaji “ada”, Descartes menyebutkan ada tiga hal yang disebut dengan “ide-ide bawaan” yaitu cagitatio, deus, dan extentio. Imaji cagitatio adalah ide tentang pemikiran manusia, imaji deus adalah pemikiran tentang Tuhan (Allah), sedangkan imaji extentio adalah ide tentang keluasan. Ide keluasan ini yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dapat dimengerti dengan satuan geometris (panjang, lebar, tinggi, luas, besar, dan lain-lain).Descartes menitikberatkan pemikirannya terhadap rasio, dan rasio inilah faktor penting yang menjembatani untuk menjelaskan agama dan nilai kebenaran.
Sepertinya halnya dengan Descartes, John Locke juga menitikberatkan pemikirannya terhadap rasio. Rasio berkerja untuk membentuk simple idea  menjadi complex idea dengan cara membandingkan, mengabstraksi, menghubungkan simple ideas.Imaji tentang simple idea Locke berasal dari pengalaman inderawi secara langsung, maka complex idea tidak bisa diamati secara langsung dari pengalaman inderawi tetapi dapat diketahui melalui kombinasi-kombinasi dari berbagai simple idea. Imaji Locke tentang negara sering diibaratkan sebagai “peronda malam”. Seperti peronda yang menjaga parbrik atau rumah majikannya dari seseorang yang ingin mengganggu dan merusaknya, negara Locke melindungi kekayaan milik warganya, namun tidak menaruh minat pada masalah pemerataan kesejahteraan buruh pabrik dan mungkin juga tidak mau tahu apakah majikannya sebenarnya adalah seorang pemeras buruh atau bukan. Yang merupakan imaji negara Locke ini ya tentang peronda malam ini, dan tidak memperdulikan segala sesuatu diluar hal tersebut.
Beda halnya dengan pendapat Descartes, David Hume menolak pandangan tentang imaji tentang ide-ide bawaan. Imaji Hume tentang kesadaran adalah pengalaman yang memiliki dua unsur, yaitu: kesan (impressions) dan pandangan (ideas). Hume menjelaskan perbedaan kesan dan pandangan sebagai berikut (Tjahjadi, Simon Petrus L: 248):
All the perceptions of the human mind resolve themseleves into distincr kinds, which I shall call Impresiions and Ideas. The difference betwixt these concists in the degrees of force and liveliness with which they strike upon the mind and make their way into our thought or consciousness. Those perceptions which enter with most force and violence we may name impressions; and under this name I comprehend all our sensations, passions, and emotions, as they make their first appearances in the soul. By Ideas I mean the faint images of these in thinking and reasoning; such as, for instance, are all the perseptions excited by the present discource, excepting only those which arise from the sight and touch, and excepting the immediate pleasure or uneasiness it may occasion”.
Selain menolak imaji tentang ide-ide bawaan, Hume juga tidak menggunakan rasio dalam melaksanakan sikap positif, melainkan dengan menggunakan perasaan moral. Imaji manusia menurut Hume adalah makhluk sosial, sehingga manusia akan dengan cepatnya meraskan simpati terhadap orang lain secara spontan. Dengan rasa simpati ini, manusia akan merasa bahagia jika orang lain bahagia, dan sebaliknya jika orang lain tidak bahagia maka dia juga akan sedih.
Immanuel Kant membedakan imajinasi reproduktif dan produktif. Yang terdahulu menggunakan data yang kacau balau dari pancaindera dan memberikan kita keseluruhan obyek. Imajinasi model ini membuat lengkap apa yang tidak lengkap pada objek-objek yang diindera. Imajinasi produktif lebih dari imajinasi reproduktif. Imajinasi produktif merupakan kekuatan yang memungkinkan kategori-kategori mengatur atau menata bahan dari intuisi. Oleh karena itu, imajinasi produktif memungkinkan suatu kesatuan dunia dan memungkinkan pengertian. Dan imajinasi produktif juga merupakan kondisi untuk kebaruan.
Sartre membedakan imajinasi dengan persepsi. Sartre mengatakan bahwa antara imajinasi dan persepsi tidak ada perbedaan mendasar terhadap objek yang imajinasikan dan dipersepsi. Lebih lanjut disebutkan bahwa imajinasi lebih spontan, kreatif, dan produkstif dibandingkan dengan persepsi. Imajinasi akan menunjukkan kebebasan manusia dalam berpikir. Sedangkan persepsi lebih kepada pendapat seseorang terhadap suatu hal, persepsi merupakan salah satu buah hasil dari pembentukan imajinasi yang dilakukan seseorang.
Sedangkan Samuel Taylor Coleridge membagi imajinasi ke dalam dua bagian, angan-angan dan imajinasi konstruktif. Angan-angan sangat mirip dengan imajinasi gabungan dari Hobbes. Tetapi imajinasi konstruktif lebih dari sekedar asosiasi-asosiasi acak dan pada hakikatnya menciptakan dunianya sendiri dengan menyusun detail-detail ke dalam kesatuannya sendiri menurut rencananya sendiri yang terkendali. Kemampuan manusia macam inilah yang dia sebut sebagai daya esemplastik (menyusun menjadi kesatuan).
Dalam karyanya seperti La Terre et les reveries de ka volonte (Bumi dan khayalan kehendak), Bachelard beberapa kali merujuk ke puisi dan sastra dari tradisi kultural Barat yang digunakan untuk menggambarkan karya imajinasi (Lechte, John: 19). Pernyataan Bachelard ini sejalan dengan pendahuluan di atas bahwa salah satu bentuk karya imajinasi adalah seni, dalam hal ini seni yang dimaksud Bachelard adalah puisi dan sastra. Imajinasi adalah medan dari citra (imaji) dan hal ini harus dibedakan dengan penerjemahan dunia eksternal ke dalam konsep. Imajinasi menghasilkan imaji dan menjadi imajinya, sedangkan pikiran melahirkan konsep. Imaji memang sangat penting dalam pembentukan imajinasi, akan tetapi jika tidak ada imajinasi maka imaji akan layu dan kemudian akan mati, yang dimaksud layu dan mati disini adalah imaji itu akan hilang tertutup oleh dirinya sendiri. Imaji atau citra ini memiliki sifat yang tidak transparan, dengan ketidaktransparanan ini menjadikan imaji atau citra akan bersifat subjektivitas yaitu akan berbeda setiap orangnya. Pendapat orang mengenai imaji suatu hal dengan pendapat orang akan berbeda, karena rasa mereka melihat sesuatu juga akan berbeda.
Sedangkan dalam karya-karyanya Christian Metz selalu berpandangan bahwa kisah filmis, atau materi subjek, selalu disadari melalui imaji atau bayangan, dan yang terakhir ini meskipun merupakan unsur pokok pemuasan, namun bukan yang mengungkapkan apa isi film itu (Lechte, John: 132). Yang dimaksudkan disini adalah dalam menonton dan menikmati sebuah film, imaji tidak mungkin mengungkapkan semua kisah yang ada di film tersebut. Imaji film selalu tertata dengan cara tertentu, mereka tidak pernah muncul dalam bentuk deskriptif yang mentah, meskipun urutan-urutan deskriptif bisa muncul dalam sebuah diagesis film.  Di lain sisi, Metz berpendapat bahwa imaji film lebih cocok dengan pernyataan (enonces), atau tindak wicara, daripada kata-kata karena, tidak seperti kata-kata, bayangan ini berjumlah tidak tertentu dan diciptakan oleh pembuat film/ pembicara. Imaji bukanlah sebuah kata, tapi imaji dibentuk dengan menggunakan prosedur untuk mengkaitkan imaji satu dengan imaji yang lainnya supaya berkesinambungan dan akan menjadikan sebuah karya film yang mengesankan dan baik jika ditonton seseorang.
Bagi Michele Le Doeuff, imaji atau citra semacam (pulau, kabut, gunung es, lautan penuh badai, dan sebagainya) yang ada dalam suatu naskah filosofis tidak bisa ditafsirkan secara metaforis begitu saja. Seperti yang dikatakan ole Immanuel Kant dalam bukunya John Lechte (132):
“lingkup” pemahaman itu adalah suatu pulau yang dikelilingi oleh batas-batas alami yang tidak bisa diubah. Ini adalah suatu pulau kebenaran – nama yang mempersona! – dikelilingi oleh lautan luas dan penuh badai, kampung halaman dari ilusi, dimana banyaknya pantai penuh kabut dan gunung es yang mencair memberi gambaran menyesatkan tentang pantai yang terletak lebih jauh, terus-menerus menyesatkan para pengelana dengan harapan-harapan baru yang kosong, dan membawanya ke dalam perjuangan yang tidak pernah ingin ditinggalkannya tetapi juga tidak pernah diselesaikannya.
Imaji dijelaskan dengan dua cara, yang pertama adalah dilihat sebagai tanda bangkitnya bentuk pemikiran yang primitif atau bisa juga disebut dengan pemikiran anak-anak (pemikiran polos, tidak mendasar serta tidak bisa menghubungkan satu hal dengan hal yang lainnya). Cara yang kedua adalah dilihat sebagai suatu hal yang memiliki kejelasan intuitif, seolah imaji ini secara langsung bisa mengungkapkan pemikiran filsuf yang bersangkutan. Kejelasan intuitif ini bisa diartikan dengan kejelasan yang secara intuisi saja kita bisa mengerti apa yang dimaksudkan bukan hanya dengan pemikiran primitif secara reflektif yang tidak memiliki dasar.
Sumber kepuasan secara par excellence menurut Maurice Blanchot merupakan imaji, dan cukup menarik bahwa citra ini merupakan cerminan dari objek yang muncul secara tidak problematis. Citra yang pada dasarnya bersifat visual, sebenarnya adalah satu cara untuk menangkap objek melalui pengambilan jarak, atau upaya mengobjekkan. Imaji adalah kedekatan yang timbul melalui pengambilan jarak tersebut. Oleh sebab itu, kesendirian, keterpikatan, imaji, dan penglihatan adalah rangkaian gagasan yang membentuk praktek penulisan Blanchot. Blanchot juga memisahkan imaji dari makna dan menghubungkannya dengan keadaan mabuk.
Imaji sendiri selalu membawa imaji. Apa yang dihasilkan pertama kali oleh imajinasi adalah imaji. Oleh karenanya, imaji inilah yang sesungguhnya memegang peranan penting dalam hal korespondensi interaksional antar objek. Imaji adalah penentu sejauh mana kebenaran itu memang dapat dipertanggungjawabkan. Kebenaran inilah yang merupakan asumsi untuk menantikan penyelidikan seperti kata Nietzche. Hubungan antara imaji dan kebenaran adalah kebenaran suatu imaji adalah korespondensi dengan realita tertentu didunia ini di luar dirinya sendiri.
Mengenai kuatnya karakter imaji-imaji sebagai objek-objek imajerial yang menentukan objektivitas imajinasi, Ludwig Wittgenstein menyatakan bahwasanya imaji mestilah lebih mirip dengan objek daripada gambar manapun. Sebab, bagaimanapun miripnya membuat gambar yang mewakili sesuatu itu maka akan ada selalu gambar yang mewakili hal yang lain juga. Akan tetapi secara singkatnya, imaji akan selalu merupakan imaji atas suatu hal dan bukan atas hal yang lain. Jadi imaji dapat dipandang sebagai sebuah kemiripan yang sangat sangat mirip. Hal ini sejalan dengan pemikiran Plato, Plato imaji tentang seekor singa akan mempunyai hubungan dengan imaji satu, sedangkan imaji satu sendiri akan mempunyai hubungan dengan imaji ganjil. Contoh lainnya adalah imaji api akan mempunyai hubungan dengan imaji panas, imaji panas akan mempunyai hubungan dengan merah, dan lain sebagainya.
Maka dalam proses pengetahuan sebetulnya yang paling penting adalah mengkomunikasikan dan menginteraksikan imaji-imaji, karena imaji-imaji itu sendiri pada dasarnya dapat saling melengkapi satu sama lain seperti yang sudah dijelaskan di atas. Hal ini juga dikatakan oleh Kenneth E. Boulding sebagai berikut (Tedjoworo: 114):
“Kita dapat menelaah konsistensi, koherensi, nilai yang mempertahankan, stabilitas, dan kekuatan yang mengorganisasi di dalam sebuah imaji, sebab imaji itu dapat menyelidiki imaji. Kita tak penah dapat menyelidiki korespodensi imaji terhadap realitas, baik di wilayah nilai maupun di wilayah fakta”.
Dengan kata lain, sebuah konsep itu harus bersifat figuratif agar dapat dipahami dan disampaikan secara interaksional sebagai sebuah pengetahuan. Ini berkebalikan dengan filsafat Hegel yang justru menerjemahkan imaji-imaji ke dalam konsep-konsep (Tedjoworo: 138):
“Sementara seluruh bangunan filsafat Hegel diabdikan untuk menerjemahkan imaji-imaji ke dalam konsep-konsep, masyarakat justru berkembang pesat dalam imaji-imaji dengan cara tertentu sehingga konsep selalu tampil secara figuratof. Menurut Hegel, konsep itu sesungguhnya terwujud dalam ruang dan waktu. Dengan istilah lain, objektivitas selalu bersifat konseptual, atau tyang real tiada lain adalah ide. Dalam masyarakat, ide menjadi imaji dan yang real bersifat imajiner. Bagi Hegel, dari atas ke bawah semuanya adalah konsep, bagi masyarakat yang melihatnya segalanya adalah imaji dari tataran atas sampai ke bawah”.
Karl Marx mengatakan sebuah ungkapan yang cukup mencengangkan, dia mengatakan bahwa “imajinasi mestinya tidak disiplin. Itulah sebabnya sebuah universitas tidak dapat mencakupnya”. Kata “tidak disiplin” ini bisa diartikan sebagai “tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Lalu kenapa kemudia imaji yang masuk dalam ranah universitas tidak dapat dipertanggungjawabkan? Hal ini mungkin karena dalam pembelajaran di Universitas ada beberapa hal yang dibatasi terhadap disiplin ilmu tertentu. Sedangkan imajinasi itu sendiri tidak disiplin karena sifatnya yang bebas, hal itulah yang mungkin membuat imaji sulit untuk mendapatkan tempat di Universitas. Akan tetapi ada seorang tokoh yang bernama Fiumara, dia mengungkapkan keheranannya karena pernyataan Karl Marz tersebut. Fiumara menyatakan bahwasanya (Tedjoworo: 140):
“Masih menjadi kenyataan yang mengherankan bahwa teori-teori tentang makna dan rasionalitas yang kini dominan tidak menawarkan perlakuan serius apapun terhadap imajinasi metaforis. Kita tidak akan menjumpainya didiskusikan dalam teks-teks standar tentang semantik manapun atau di berbagai stusi yang sangat berpengaruh manapun tentang rasionalitas. Karya-karya semacam ini tentu saja mengakui bahwa imajinasi memainkan peranan dalam penjelajahan, penemuan, dan kreativitas, tetapi tidak pernah menelaahnya sebagai yang (ko)esensial terhadap struktur rasionalita”.
Kategori-kategori verbal yang biasa kita pahami ternyata adalah representasi imaji-imaji itu sendiri, sedangkan definisi adalah imaji-imaji berhubungan dengan masa lalu, identifikasi merupakan imaji-imaji yang berhubungan dengan masa kini, dan direksi merupakan imaji-imaji yang berhubungan atau bisa melihat ke masa depan. Jeff Donaldson menegaskan agar setiap kata dikembalikan pada imaji itu sendiri. Berkikut adalah pendapat dari Jeff Donaldson mengenai imaji (Tedjoworo: 141):
“Kata-kata tak dapat berbuat banyak terhadap bentuk (formal) dan muatan imaji kita. Perhatikan imaji. Kata-kata adalah upaya untuk menetapkan darimana kita berasal dan memperkenalkan bagaimana dan kemana kita menuju. Perhatikan imaji. Kata-kata tidak mendefinisikan atau menggambarkan imaji-imaji yang relevan. Imaji-imaji yang relevan mendefinisikan atau menggambarkan dirinya sendiri.”
Dari pembahasan diatas terlihat bahwa imaji sangat penting dalam pembentukan imajinasi seseorang. Istilah imaji sendiri berbeda-beda tergantung dengan para filsuf yang mengatakannya. Imaji berhubungan dengan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, hal ini berarti imaji tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Imaji akan terus berkembang. Dan untuk menghidupkan imaji supaya tidak layu dan akhirnya mati, maka imaji itu harus dibentuk sebuah imajinasi. Imajinasi-imajinasi seseorang akan membawa manusia pada perubahan yang signifikan pada kehidupan manusia kelak. Jika kita memiliki imaji tentang benda dan perpindahan dan kemudian membentuk sebuah imajinasi tentang teleportasi benda. Teleportasi ini merupakan pemindahan sesuatu materi dan satu titik ke titik lalui melalui sebuah proses penguraian dan pengembalian kembali ke tempat asalnya. Seperti yang banyak digambarkan pada film barat tentang teleportasi, penulis film ini berarti sudang menggunakan imajinasi untuk menghubungkan imaji-imaji. Mungkin teleportasi pada zaman dulu masih mustahil, tapi pada zaman sekarang masih terus dilakukan penelitian tentang teleportasi dan mungkin pada zaman yang akan datang benar adanya bahwa teleportasi bisa dilakukan. Teleportasi ini juga sebenarnya sudah ada pada Al-Qur’an surat Al- Israa’ ayat 1 yaitu peristiwa Isra’ dan Miraj nya Rasulullah Muhammad SAW:
Artinya:
Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Selain itu juga terdapat peristiwa pemindahan singgasana Ratu Bilqis dari Negeri Jaba yang tertulis pada Al-Qur’an surat An Naml ayat 38-40:
Artinya:
38) Berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". 39)  Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya Aku benar-benar Kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya". 40)  Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba Aku apakah Aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".
Dua kisah dalam Al-Qur’an di atas memang merupakan kuasa Allah SWT, tapi hal ini mungkin saja bisa dilakukan oleh manusia karena memang manusia sudah diperintahkan oleh Allah SWT untuk berpikir, tentu saja ini jikalau Allah SWT menghendakinya. Berpikir untuk memajukan kehidupan umat manusia dan membawa kebermanfaatan bagi umat. Hal ini merupakan salah satu fungsi imajinasi dalam ilmu pengetahuan, yaitu imajinasi membantu ilmuwan untuk mengetahuai dunia dengan memasukkan hipotesis, konsepsi, gagasan untuk bereksperimen. Dalam bidang seni, imajinasi memegang peranan penting secara istimewa. Bagi seorang seniman, imajinasi tidak hanya membantunya untuk suatu generalisasi tetapi sebagai kekuatan yang memanggilnya agar menghidupkan gambar-gambar seni yang penuh dengan arti didalamnya, yang mencerminkan realitas secara artifisial.
Kekuatan imajinasi memainkan peranan yang sangat penting sebagai imajinasi kreatif. Ini perlu untuk pemikiran yang produktid, untuk inspiratif yang penting bagi ilmu pengetahuan, seni, teknik dan agama.Dalam halnya manusia, semua pemikiran baru secara alamiah membutuhkan imajinasi dengan kebebasannya untuk bermain dalam ide-ide. Tentu saja, inspirasi baru harus diuji dengan teliti dan dites sungguh-sungguh, karena unsur irasional dalam menggunakan imajinasi dapat menghasilkan baik sesuatu yang omong kosong maupun karya seorang jenius. Tidak seperti mimpi yang fantastik yang membuat orang keluar dari dunia nyata, imajinasi yang dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat merupakan suatu kualitas yang sangat bernilai yang menolong kita untuk mengenal hidup dan mengubahnya.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai imaji apabila dilihat dari segi filsafat maka akan diperoleh struktur seperti berikut ini.
Awam
Gambar
Ideologi
Identitas, kepercayaan
Budaya
Karya, Keindahan, Keselarasan
Ada
Karya
Mengada
Yang mungkin ada
Pengada
Sarana ritual keagamaan
Sekolah
Sumber ilmu
Guru
Perhitungan, pengelompokkan, pengetahuan
Siswa
Kreatif
Metode
Kontekstual, Saintifik
Ujian
Soal
Kurikulum
Kurikulum KTSP, kurikulum 2013
Formal
Angka dan bilangan
Epistemologi
Isi
Ontologi
Wadah dan isi
Estetika
Seni dan keindahan
Etika
Moral
Sosiologi
Budaya
Sosial
Bahasa
Politik
Negara
Psikologi
Imajinasi, kreatif, ilmiah, religius
Spiritual
Doa, kesucian, surga dan neraka, akhirat


DAFTAR PUSTAKA

Boyer, Carl B. (1991). A history of mathematics. NY, USA: John Wiley & Sons.
Burton. (2006). The history of mathematics: an intoduction, sixth edition. USA: The McGraw-Hill, Inc.
Haza’a, Salah Kaduri., Dyastriningrum Subandiati, dan Ibnu Ngatoilah. (2004). Sejarah matematika klasik dan modern. Yogyakarta: UAD Press.
Lechte, John. (2001). 50 filsuf kontemporer. (Terjemahan A. Gunawan Admiranto). NY, USA: Routledge.
Nata, Abuddin. (2005). Filsafat pendidikan islam. Jakarta: Gaya Media
Pratama.Saefullah, Djaja. (2004). Pengantar filsafat. Bandung: Refika Aditama.
Ravert, Jerome R. (2009). Filsafat ilmu sejarah dan ruang lingkup bahasan. (Terjemahan Saut Pasaribu). England: Oxford University Press. (Buku asli diterbitkan tahun 1982)
Smith, Karl J. (2012). The nature of mathematics 12th edition. USA: Brooks/ Cole Cengange.
Tedjoworo. (2001). Imaji dan imajinasi. Yogyakarta: Kanisius.
Tjahjadi, Simon Petrus L. (2004). Petualangan intelektual. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar