Minggu, 27 Maret 2016

STRUKTUR ONTOLOGIS 1

NILAI

Pembahasan tentang nilai muncul pertama kali pada abad ke 19. Keindahan sebagai salah satu perwujudan dan cara pandang yang khas terhadap dunia, sebuah cara yang disebut dengan nilai. Baik pada zaman kuno maupun pada zaman modern, orang tanpa menyadarinya telah menempatkan nilai di bawah ada (being) dan mengukur keduanya dengan tolak ukur yang sama. Nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang menyenangkan kita, identik dengan aoa yang kita inginka, sasaran perhatian kita, dan Nicolai Hartmann menyebutkan bahwa nilai adalah esensi, ide Platonik. Kenikmatan, keinginan, perhatian merupakan suasana kejiwaan, nilai ini direduksi menjadi pengalaman pribadi semata. Kesalahan yang dibuat dalam penggabungan nilai dengan esensi disebabkan oleh pengacauan antara yang bukan realitas dan identitas yang menandai esensi.
“Nilai” dan “benda” merupakan dua hal yang berbeda, benda merupakan sesuatu yang bernilai, yaitu sesuatu yang ditambah dengan nilai di dalamnya. Sebuah patung akan menyimpan semua ciri khas pualam pada umumnya, beratnya, kerasnya, dan sebagainya, sekalipun demikian sesuatu yang ditambahkanlah yang mengubahnya menjadi sebuah patung. Oleh karena itu, nilai bukan merupak benda atau pengalaman, juga bukan merupakan esensi, nilai adalah nilai.
Nilai tidak ada untuk dirinya sendiri, setidaknya ia membutuhkan pengemban untuk berada. Oleh karena itu, nilai nampak pada kita seolah-olah hanya merupakan kualitas dari pengembangan nilai ini. Keindahan dari sebuah lukisan, kebagusan dari pakaian, kegunaan dari sebuah peralatan. Walaupun demikian, jika kita mengamati sebuah lukisan, kita akan melihat kualitas penilaian yang berbeda dengan kualitas yang lain.
Nilai tidak menambah realitas atau substansi pada objek, melainkan hanya nilai, karena kualitas tidak dapat ada melalui dirinya sendiri, nilai adalah milik semua objel yang oleh Husserl dikatakan tidak independen, yakni nilai tidak memiliki kesubstantivan. Karena berupa kualitas, nilai bersifat parasitis yang tidak dapat hidup tanpa didukung oleh objek yang riel, dan membawa eksistensi yang mudah rusak, setidak-tidaknya ketika merupakan kata sifat yang berkaitan dengan “benda”.
Nilai dan objek ideal berbeda, nilai bersifat tidak riel sedangkan objek ideal bersifat riel dan ideal. Perbedaan antara nilai dengan objek ideal dapat dilihat ketika kita membandingkan keindahan yang merupakan nilai dengan ide tentang keindahan. Kita menangkan keindahan melalui emosi, sedangkan ide tentang keindahan dipahami melalui intelektual. Perbedaan antara nilai dan objek ideal pada umumnya juga dibuat dengan pernyataan bahwa ojek ideal itu “ada”, sedangkan nilai itu “tidak ada”, mereka hanya memiliki nilai.
Ciri khas dasar lain dari nilai adalah polaritas. Sering dikatakan bahwa polaritas berarti perpecahan dengan ketidakacuhan. Dalam kehadiran objek dunia fisik kita dapat menjadi tidak acuh. Tidak ada karya seni yang bersifat netral, juga tidak ada orang yang dapat menjadi tidak acuh ketika dia mendengarkan simfoni, membaca puisi, atau melihat lukisan. Selain itu, nilai tersusun secara hierarkis yakni ada nilai yang lebih tinggi dan ada nilai yang lebih rendah. Nilai hierarkis nilai juga jangan dikacaukan dengan klasifikasinya. Klasifikasi tidak mesti berarti urutan pentingnya. Keberadaan urutan hierarkis merupakan sebuah rangsangan yang menyegarkan bagi tindakan kreatif dan peninggian moral. Nilai itu “objektif” jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai, sebaliknya nilai itu “subjektif” jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penialaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis mapun fisis.
Penilaian secara subjektif membuat terbentuknya kaum subjektivis.  Alexsius von Meinong (1853-1921) adalah orang pertama yang menyatakan penafsiran subjektivistis terhadap nilai, dalam karyanya yang berjudul “Psychological-ethical Inquiry into a Theory of Value”. Namun Meinong bukan orang pertama yang menaruh perhatian pada nilai, orang yang pertama adalah Adam Smith (1723-1790), tapi perhatiannya terhadap nilai hanya terbatas pada bidang ekonomi dan poliyik. Dan H. Lotze, seorang filsuf jerman yang menjadi pelopor dalam penyelidikan atas nilai. Ketika positivisme berusaha menetapkan sebuah realitas yang bebas nilai, yang akan memungkinkan bagi penerapan secara ketat metode naturalis, Lotze memandang ide tentang nilai sebagai yang tidak tergantung pada realitas. Konsepsi ini memungkinkan baginya untuk menggambarkan sebuah kawasan yang akan terlindung dari serbuan kaum naturalis, dan dengan cara ini dikemukakan perbedaan antara ada (being) dengan nilai (value). Kemudian muncullah filsuf yang bernama F. Nietzche (1844-1900) menyatakan perlunya “pengubahan atas nilai”. Nilai ini katanya, diciptakan oleh manusia menjadi stabil dan berpengaruh hanya untuk waktu yang sementara, tabel nilai akhirnya digantikan oleh tabel ini yang lain.
Meinong dan Christian von Ehrenfels (1850-1932), merupakan tokoh yang pertama-tama memperjuangkan subjektivisme, adalah murid dari Franz Brentano (1837-1917) di Universitas Wina. Ehrenfels tidak memiliki orientasi yang subjektivis, Meinonglah yang pertama-tama memberikan jawaban yang subjejtivistis terhadap persoalan tentang hakikat nilai. Meinong mencari kunci permasalahan nilai dalam ranah psikologi, serta percaya bahwa persoalan nilai berakar dalam kehidupan emosional. Meinong berkata, “Sesuatu itu memiliki nilai manakala ia menyenangkan kita dan sejauh mana ia menyenangkan kita”.
Antara Meinong dan Ehrenfels saling melakukan diskusi dengan karya-karya mereka yang sempat menjadi polemik. Nilai benar-benar merupakan subjektif alam emosional kita, namun mengacau pada objek yang dipertahankan dengan menggunakan keputusan eksistensial. Meinong menulis, “objek itu memiliki nilai sejauh ia memiliki kemampuan untuk memberikan dasar efektif bagi sentimen nilai”. Ehrenfels mengegaskan bahwa tesis Meinong memiliki banyak kelemahan. Jika satu objek bernilai kalau ia dapat mengjasilkan rasa nikmat pada diri kita, maka hanya benda yang ada yang akan bernilai. Yang benar adalah, kita menilai apa yang kita eksis, keadailan yang sempurna, kebaikan moral yang tidak pernah menjadi riel. Karena alasan inilaj, Ehrenfels tidak berpikir bahwa dasar nilai dapat ditemukan dalam sensai kenikamatan atau kecocokan, namun agaknya orang haris mencarinya di dalam kawasan nafsu atau hasrat. Segala sesuatu yang kita hasrati atau kita dambakan adalah bernilai, dan semua itu demikian karena kita menghasrati atau mendambakannya.
Meinong berpendapat bahwa nilai objek itu tidak tegantung pada apakah ia dihasrati, karena orang menghasrati sesuatu yang tidak dimiliki, dan bahkan sebaliknya, kita menilai segala sesuatu yang ada yang telah kita miliki, seperti lukisan yang kita gantungkan di kamar kira, kesehatan kita dan sebagainya. Mendapat kritikan dari Meinong, Ehrenfels meninjau kembali teorinya dan kemudia mengemukakan sebuah definisi baru: “nilai adalah hubungan antara subjek dengan objek, berdasarkan gambaran yang jelas dan utuh dari keberadaan objek yang menentukan di dalam diri kita, sepanjang jajaran perasaan kita dari rasa nikmat hingga rasa sakit, satu kondisi emosional yang lebih mendalam daripada citra ketidakberasaan dari objek yang sama. Dengan definisi ini, Ehrenfels mendekati teori oleh Meinong yang pada gilirannya juga dimaksudkan untuk mengakui kesalahannya.
Nilai suatu objek, menurut Meinong, terkandung di dalam kemampuannya untuk menentukan sensasi subjek bukan hanya berdasarkan atas eksistensi objek, melainkan juga berdasarkan pada ketidakeksisannya. Dia mengakui adanya pergolakan motif di dalam kesadaran dan dengan ini dia bergerak mendekati Ehrenfels, karena nilai mungkin akan terkandung di dalam kemampuan yang dimiliki objek untuk meransang hasrat selama berlangsungnya pergolakan motif. Perdebatan terakhir terlihat pada karya Ehrenfels yang disebutkan, System der Werttheorie (1898). Dalam karyanya Ehrenfels mendefinisikan nilai sebagai hubungan, secara keliru diobjektivisasikan oleh bahasa, antar objek dan kecenderungan subjek ke arah hasrat. Demikian akhir polemik antara dua filsuf Austria ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar