Jumat, 04 Maret 2016

REFLEKSI HERMENITIKA KEHIDUPAN

HERMENITIKA HIDUP

Filsafat mempengaruhi cara berfikir seseorang. Orang yang mengerti dan mempelajari tentang filsafat cenderung akan berfikir secara terbuka. Objek filsafat ada dua, yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Sesuatu yang mungkin ada ini akan dijadikan menjadi ada dengan berfilsafat. Berfilsafat itu sendiri meliputi di dalam pikiran dan di luar pikiran. Jika “benda pikiran” di dalam pikiran, tugas kita adalah bagaimana untuk menjelaskan “benda pikiran” itu kepada orang lain. Dan jika “benda pikiran” di luar pikiran, tugas kita adalah bagaimana untuk memahami “benda pikiran” tersebut. Filsafat ilmu mengajarkan seseorang untuk tidak langsung percaya dengan apa yang dikatakan oleh orang lain (mitos) dan terjebak dalam mitos-mitos tersebut sehingga menjadikannya sebagai kebenaran yang sesungguhnya.
Hermenitika Hidup (Metode Hidup) dapat diartikan sebagai “diterjemahkan dan menerjemahkan”. Untuk dapat diterjemahkan dan menerjemahkan, manusia harus bepikir terlebih dahulu. Berpikir itu sendiri mengenai benda dalam pikiran yang terdapat pada ruang dan waktu yang menghasilkan sesuatu itu ada dan mungkin ada. Yang menandakan sesuatu itu ada, ketika seseorang dapat menyebutkan salah satu sifat dari sesuatu itu. Tidak ada ruang jika tidak ada waktu, begitu pula sebaliknya. Seseorang biasanya cenderung berpikir untuk sesuatu yang nyata ada (jelas) dan mereka tidak bisa memikirkan sesuatu yang mereka belum ketahui. Akan tetapi, seseorang filsuf yang sangat mencintai ilmu. Rasa penasaran mereka akan sesuatu yang mungkin ada itu lebih besar. Sehingga mereka berpikir keras bagaimana menemukan teori yang dapat mendukung sesuatu yang ada dalam pikirannya. Pikiran tersebut diperoleh dari logika (pengetahuan) dan pengalaman seorang individu. Semakin banyak pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang akan menjadikannya memiliki banyak pemikiran yang ingin dia pecahkan.
Dalam hermenitika hidup, spiritual merupakan puncak dari grafik hermenitika hidup tersebut. Spiritual tidak cukup hanya dengan menggunakan pikiran seseorang saja. Karena sejatinya manusia tidak hanya menggunakan pikiran (berfikir) saja dalam menyelesaikan atau mempercayai suatu hal. Di dalam diri manusia juga terdapat kalbu (hati/perasaan). Dalam menanggapi hal spiritual yang lebih peka adalah kalbu dan kemudian akan ditransfer ke dalam pikiran. Contohnya, ketika kita melihat pengemis di jalan. Logika kita menolak untuk membantunya karena itu mendidik pengemis tersebut menjadi pemalas. Tapi jika pengemis itu adalah seorang nenek yang sudah renta maka perasaan kita akan mendominasi dan menyuruh kita untuk membantunya. Ketika seseorang sudah menggunakan perasaan, sebenarnya dia mengetahui bahwa seseorang harus saling membantu. Dan saling membantu membantu orang lain diajarkan oleh semua agama.

Sehebat-hebatnya seseorang menulis, orang tersebut tidak bisa menulis semua yang dibicarakannya. Sehebat-hebatnya seseorang dapat berbicara dengan baik, orang tersebut tidak dapat mengutarakan semua yang ada dipikirannya karena omongan bersifat terbatas. Dan sehebat-hebatnya pikiran yang dimiliki oleh seseorang, orang tersebut tidak bisa mengetahui seluruh relung hati atau perasaannya. Jadi tetapkan hati kita terlebih dahulu sebelum kita mengembarakan pikiran kita, terutama mengenai agama. Karena untuk membicarakan tentang agama, pikiran kita harus dibatasi dan batas itu adalah hati atau perasaan. Ketika seseorang melewati batas dalam berfikir maka seseorang tersebut akan cenderung mempertanyakan keberadan tuhan yang “ghoib” dan bahkan tidak mempercayai tuhan. Karena manusia tidak sempurna, maka manusia tidak bisa melihat hal-hal yang bersifat “ghoib”. Untuk mempercayai hal-hal yang bersifat “ghoib”, perasaan dan logika manusia harus berjalan secara beriringan. Manusia memang hidup dalam ketidaksempurnaan, akan tetapi ketidaksempurnaan itulah yang menjadikan manusia itu sempurna. Karena yang sempurna hanyalah Sang Pencipta, dan Sang Pencipta sudah menciptakan manusia dalam wujud yang terbaik untuk membaca kebermanfaatan bagi orang lain. Oleh karena itu, kita harus lebih bersyukur atas segala sesuatu yang diterimanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar