STRUKTUR ONTOLOGIS
Hermenitika
Struktur Hermenitika dari Matematika
Model artinya dari struktur filsafatnya. Struktur itu adalah mencari unsur
ontologisnya atau filsafat unsur ontologis. Di dalam matematika yang disebut
unsur ontologis yaitu dari unsur yang tak terdefinisikan menjadi unsur yang
terdefinisikan. Kalau dalam bidang biologi, unsur ontologisnya atau unsur
dasarnya adalah unsur DNA nya. Kalau dalam bidang psikologi, unsur ontologisnya
adalah satuan unit pemahamannya apa. Dalam bidang fisika, unsur dasarnya adalah
atom. Sedangkan dalam statistik, unsur ontologisnya adalah unit peristiwanya
apa. Unsur ontologis dalam filsafat itu objeknya, objek filsafat. Objek
filsafat adalah ada dan yang mungkin ada. Unsur dasar merupakan unsur primitif
yang sudah tidak bisa digaji lebih jauh lagi.
Objek filsafat yang “ada” meliputi
semuanya, yang dapat dipikirkan oleh manusia. Untuk mempelajari filsafat ilmu,
kita harus mempelajari filsafat terlebih dahulu baru mempelajari imu kemudian
filsafat ilmunya. Sedangkan untuk mempelajari filsafat matematika, kita harus
mempelajari filsafat kemudian mempelajari matematika baru kemudian mempelajari
filsafat matematika. Jadi yang paling tinggi kedudukannya adalah yang ada di
dalam pikiran kita, dan yang lebih tinggi dari ini adalah yang ada di dalam
hati kita untuk mempelajari dan meyakini agama (spiritual).
Objek filsafat yang “ada” terbagi
menjadi dua yaitu ada yang tetap dan ada yang berubah. Ada yan tetap yaitu
sesuatu yang ada di pikiran kita atau yang dinalar, sedangkan ada yang berubah
yaitu sesuatu yang di luar pikiran kita atau yang dialami oleh kita (pengalaman
kita). Contohnya dalam masakan, resep makanan itu tetap karena resep makanan
ada di dalam pikiran kita, yang berubah adalah hasil akhir masakannya (sudah
diterapkan) karena hasil dari apa yang kita masakan di luar pikiran kita, pasti
kita akan menambah sesuatu bahan yang dianggap kita kurang. Sesuatu yang di luar
pikiran kita yang menjadi menjadi objek yang real (nyata), melahirkan sebuah
kaum yang disebut kaum Realisme. Salah satu tokohnya adalah Aristoteles. Aristoteles
membicarakan apa yang ada sesuai dengan kenyataan. Sedangkan kaum yang meyakini
tentang nalar atau rasio disebut Rasionalisme, salah satu tokohnya adalah
Plato. Dalam bukunya Prof Marsigit yang berjudul Filsafat Matematika,
menyatakan bahwa pandangan kaum rasionalis, sumber dan dasar pengetahuan adalah
akal (reason). Kalangan rasionalis
menyatakan bahwa akal itu universal dalam semua manusia, dan pemikiran (akal
yang aktif) merupakan elemen penting manusia. Pemikiran merupakan satu-satunya
instrumen kepastian pengetahuan, dan akal merupakan satu-satunya jalan untuk
menentukan kebenaran atau kesalahan dalam ilmu pengetahuan. Akal dipahami oleh
kaum rasionalis sebagai perantara khusus, yang menyatakan bahwa dengan adanya
akal kebenaran dapat dikenal dan ditemukan. Oleh karena itu, kunci kunci
kevalidan dari ilmu pengetahuan bagi kaum rasionalis adalah akal atau pikiran.
Filsafat itu tergantung dari karakter
apa yang ada, objek yang ada di pikirannya. Nenek moyang filsafat itu, dari
yang tetap dan yang berubah. Yang tetap adalah permenides, dan yang berubah
adalah heraclitos. Kaum yang menggunakan logika dalam berpikir dan bertindak disebut
kaum logism. Sedangkan pikiran itu bersifat itu analitik, contoh dari analitik
adalah afektif yang bersifat apriori
karena besifat tetap, yang dimaksud tetap di sini adalah konsisten. Maka
kebenarannya menjadi koheren, dan filsafatnya disebut koherenism. Kebenaran
dari kaum realisme adalah cocok atau korespondensi, cocok dengan persepsi yang
menjadikan munculnya sebuah filsafat kaum korespondensm. Benar itu relatif
tergantung dengan pandangan orang yang melihatnya.
Konsep untuk matematika murni hanya benar jika masih di
dalam pikiran kita saja dan akan
menjadi salah jika konsep yang ada di dalam pikiran kita dituliskan dan diterapkan. Contoh angka
“2” jika masih ada di dalam pikiran kita
maka benar, karena sesuai dengan apa
yang dia pikirkan. Tetapi ketika dituliskan, 2 tidak sama dengan 2, karena 2 dikiri dan dikanan berbeda, bisa berbeda bentuknya, warnanya
atau pun yang lainnya.
Menurut yang saya baca dari buku yang
berjudul Filsafat Matematika, pengarang Prof Marsigit, Ilham Rizkianto dan Nila
Mareta Murdiyani, ada perbedaan yang mendasar dari kaum rasionalis dan empiris,
perbedaan itu terletak dalam menyatakan nilai kebenarannya. Kebenaran ilmu
pengetahuan menurut kaum rasionalis bukan saja diperoleh dari akal manusia
saja, melainkan pengetahuan tersebut hasrus mendapat pengesahan atau
pengwajaran terlebih dahulu dari akal. Sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan
menurut kaum empiris, kebenaran ilmu pengetahuan diperoleh dari pengalaman dari
panca indera dan pengetahuan itu harus disahkan pula melalui panca indera. Beberapa
tokoh kaum rasionalis seperti Plato, Leibniz, Rene Descartes,
dan lain-lain. Sedangkan beberapa tokoh kaum empiris yaitu Aristoteles, John
Stuart Mill, John Locke, David Huke dan lain-lain.
Karena
perbedaan menentukan nilai kebenaran suatu pengetahuan yang saling bertolak
belakang ini, kaum rasionalis dan empiris selama berabad-abad mereka bertengkah
menentukan siapa yang paling benar. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah
tersebut munculah tokoh pendamai yang
mempunyai solusi yaitu Immanuel kant. Immanuel Kant berkata, “Hai Descartes, kamu itu siapa mendewakan rasio tapi
mengabaikan pengalaman, Begitu juga ke David Huke, hai Huke, kamu itu siapa
mendewa-dewakan pengalaman tapi mengabaikan rasio.” Dari pertengkaran tersebut, Immanuel Kant menengahi akhirnya menggabungkan kedua-duanya yaitu apriori dan sintetik.
Maka sebenar-benarnya ilmu, menurut imanuel kant ialah sintetik apriori.
Menurut Immanuel Kant, konsep matematika diperoleh
berdasarkan hukum kontradiksi. Akal budi dapat memperoleh pemahaman sintetik
hanya melalui hukum kontradiksi yaitu dengan cara mensistesiskan beberapa
konsep yang ada. Jika matematika dikembangkan hanya dengan menggunakan metode analitik maka tidak akan dihasilkan
konsep baru, dan menyebabkan matematika
bersifat sebagai ilmu fiksi. Selain itu matematika tidak dikembangkan hanya
dengan konsep aposteriori sebab jika
demikian maka matematika akan bersifat empiris. Oleh karena itu, data-data
empiris yang diperleh dari pengalaman penginderaan diperlukan untuk menggali
konsep-konsep matematika yang bersifat apriori.
Pemahaman konsep matematika tergantung dari pemahaman kita tentang ruang dan
waktu sebagai struktur intuisi yang bersifat formal dan a priori. Konsep dan keputusan matematika yang bersifat sintetik apriori menyebabkan ilmu
pengetahuan alam pun menjadi tergantung pada matematika dalam menjelaskan dan
memprediksi fenomena alam.
Matematika yang bersifat sintetik apriori dapat dikonstruksi melalui tiga tahap intuisi,
yaitu intuisi penginderaan, intuisi akal, dan intuisi budi. Intuisi
penginderaan terkait dengan objek matematika yang dapat diserap sebagai unsur aposteriori. Intuisi akal mensintesiskan
hasil intuisi penginderaan ke dalam intuisi ruang dan waktu. Dengan intuisi
budi kita dihadapkan putusan-putusan argumentasi matematika. Kant mengakui
bahwa selamanya kita tidak akan pernah bisa mengungkap hakekat noumena dibalik phenomena nya. Oleh karena itu, Kant memberi solusi bahwa konsep
matematika pertama-tama diperoleh secara apriori
dari pengalaman dengan intuisi penginderaan, tetapi konsep yang diperoleh
tidaklah bersifat empiris melainkan bersifat murni. Proses demikian merupakan
langkah pertama yang harus dilakukan dalam penalaran matematika. Proses
berikutnya adalah proses sintetik intuisi akal yang memungkinkan mengkonstruksi
konsep matematika yang bersifat sintetik dalam ruang dan waktu. Sebelum diambil
putusan-putusan dengan intuisi budi terlebih dahulu objek-objek matematika
dalam bentuk form disintesiskan ke
dalam categories sebagai kuantitas,
kualitas, relasi, dan modalitas. Dengan demikian maka intuisi murni menjadi
landasan bagi matematika dan kebenaran matematika bersifat apodiktik (prosedur
pembuktiannya jelas). Pemahaman matematika secara transenden melalui intuisi
murni dalam ruang dan waktu inilah yang menyebabkan matematika mungkin sebagai
ilmu.
Aguste
comte mengusulkan untuk membangun dunia dengan pikirannya. Auguste Comte
berbicara pada Immanuel Kant, “Hai Kant kalau kau mau bangun dunia mau pilih yang mana,
agama, filsafat, atau metode saintifik/ilmiah”, akan tetapi Kant tidak bisa menjawabnya. Kemudian Aguste Comte menjawab sendiri didalam bukunya, jawaban atas pertanyaan yang
diajukannya kepada Kant adalah saintifik. Menurut
Aguste
Comte, agama tidak logis, jadi tidak bisa dipakai
untuk dasar membangun dunia, dan filsafat masih bisa digunakan. Menurutnya untuk membangun dunia maka gunakan saintifik. Seperti halnya
kurikulum Indonesia saat ini yang menggunakan metode saintifik ,maka secara tidak langsung dia mengikuti Aguste Comte.
Akibat dari metode saintifik ini, agama menjadi terpinggirkan
atau termarginalkan. Baik
kehidupan sehari-hari (dunia nyata) maupun dunia maya ketika kita membuka internet, bukan spiritualisme yang muncul tapi
hedonisme, sebagai contohnya adalah banyaknya kasus penculikan, pembunuhan,
perempuan yang
menjadi laki-laki atau sebaliknya, perkawinan sejenis. Struktur Indonesia yang paling dasar itu material, formal,
normatif dan diatasnya ada spiritual. Akan tetapi, struktur Indonesia sudah membentuk struktur kekinian. Struktur kekinian yaitu
archic,
tribal, ferdal, modern, post modern, post-post modern (powernow).
Pilar-pilarnya adalah kapitalism, pragmatism, hedonism, materialism
dan liberalism. Ketika kita dalam kehidupan sehari-hari, kegiatan kita hanya
bangun tidur kemudian berangkat ke kampus, pulang, terus tidur lagi maka kita sudah termasuk pilar-pilar tersebut.
Ujung
tombak kapitalism ialah ICT, pendidikan, budaya, ekonomi, sosial, dan politik. Ujung tombaknya menguasai dunia ialah itu
semua.
Kita akan merasa tertinggal jika kita ketinggalan teknologi. Menurut saya,
mengikuti perkembangan teknologi juga penting. Akan tetapi, kita harus
memilah-milah jenis teknologi yang akan kita gunakan. Apakah teknologi itu
membawa kebermanfaatan untuk kita atau tidak. Bukan hanya kebermanfaatannya
saja yang harus kita lihat akan tetapi karena kita memiliki agama kita juga
harus menggunakan teknologi tersebut sesuai dengan ajaran yang kita yakini,
jangan sampai kita memanfaatkan teknologi untuk suatu hal yang melanggar ajaran
yang kita yakini. Dan yang perlu kita garis bawahi disini adalah kita sudah
mengenal jati diri kita sendiri, sehingga kita tidak akan terpengaruh oleh
orang lain yang menginginkan kita terjerumus dan terpuruk. Jika kita sudah bisa
mengenal diri sendiri, maka kita akan dengan mudah mengenal orang lain kemudian
akan memperlakukan mereka sesuai dengan kodratnya sebagai manusia,
“memanusiakan manusia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar