NILAI
Pembahasan
tentang nilai muncul pertama kali pada abad ke 19. Keindahan sebagai salah satu
perwujudan dan cara pandang yang khas terhadap dunia, sebuah cara yang disebut
dengan nilai. Baik pada zaman kuno maupun pada zaman modern, orang tanpa
menyadarinya telah menempatkan nilai di bawah ada (being) dan mengukur keduanya dengan tolak ukur yang sama. Nilai
dapat diartikan sebagai sesuatu yang menyenangkan kita, identik dengan aoa yang
kita inginka, sasaran perhatian kita, dan Nicolai Hartmann menyebutkan bahwa
nilai adalah esensi, ide Platonik. Kenikmatan, keinginan, perhatian merupakan
suasana kejiwaan, nilai ini direduksi menjadi pengalaman pribadi semata.
Kesalahan yang dibuat dalam penggabungan nilai dengan esensi disebabkan oleh
pengacauan antara yang bukan realitas dan identitas yang menandai esensi.
“Nilai”
dan “benda” merupakan dua hal yang berbeda, benda merupakan sesuatu yang
bernilai, yaitu sesuatu yang ditambah dengan nilai di dalamnya. Sebuah patung
akan menyimpan semua ciri khas pualam pada umumnya, beratnya, kerasnya, dan
sebagainya, sekalipun demikian sesuatu yang ditambahkanlah yang mengubahnya
menjadi sebuah patung. Oleh karena itu, nilai bukan merupak benda atau pengalaman,
juga bukan merupakan esensi, nilai adalah nilai.
Nilai
tidak ada untuk dirinya sendiri, setidaknya ia membutuhkan pengemban untuk
berada. Oleh karena itu, nilai nampak pada kita seolah-olah hanya merupakan
kualitas dari pengembangan nilai ini. Keindahan dari sebuah lukisan, kebagusan
dari pakaian, kegunaan dari sebuah peralatan. Walaupun demikian, jika kita
mengamati sebuah lukisan, kita akan melihat kualitas penilaian yang berbeda
dengan kualitas yang lain.
Nilai
tidak menambah realitas atau substansi pada objek, melainkan hanya nilai,
karena kualitas tidak dapat ada melalui dirinya sendiri, nilai adalah milik
semua objel yang oleh Husserl dikatakan tidak independen, yakni nilai tidak memiliki kesubstantivan. Karena
berupa kualitas, nilai bersifat parasitis yang tidak dapat hidup tanpa didukung
oleh objek yang riel, dan membawa eksistensi yang mudah rusak, setidak-tidaknya
ketika merupakan kata sifat yang berkaitan dengan “benda”.
Nilai
dan objek ideal berbeda, nilai bersifat tidak riel sedangkan objek ideal
bersifat riel dan ideal. Perbedaan antara nilai dengan objek ideal dapat
dilihat ketika kita membandingkan keindahan yang merupakan nilai dengan ide
tentang keindahan. Kita menangkan keindahan melalui emosi, sedangkan ide
tentang keindahan dipahami melalui intelektual. Perbedaan antara nilai dan
objek ideal pada umumnya juga dibuat dengan pernyataan bahwa ojek ideal itu
“ada”, sedangkan nilai itu “tidak ada”, mereka hanya memiliki nilai.
Ciri
khas dasar lain dari nilai adalah polaritas. Sering dikatakan bahwa polaritas
berarti perpecahan dengan ketidakacuhan. Dalam kehadiran objek dunia fisik kita
dapat menjadi tidak acuh. Tidak ada karya seni yang bersifat netral, juga tidak
ada orang yang dapat menjadi tidak acuh ketika dia mendengarkan simfoni,
membaca puisi, atau melihat lukisan. Selain itu, nilai tersusun secara
hierarkis yakni ada nilai yang lebih tinggi dan ada nilai yang lebih rendah.
Nilai hierarkis nilai juga jangan dikacaukan dengan klasifikasinya. Klasifikasi
tidak mesti berarti urutan pentingnya. Keberadaan urutan hierarkis merupakan
sebuah rangsangan yang menyegarkan bagi tindakan kreatif dan peninggian moral. Nilai
itu “objektif” jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai, sebaliknya nilai itu “subjektif” jika eksistensinya, maknanya, dan
validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penialaian, tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis mapun fisis.
Penilaian
secara subjektif membuat terbentuknya kaum subjektivis. Alexsius von Meinong (1853-1921) adalah orang
pertama yang menyatakan penafsiran subjektivistis terhadap nilai, dalam
karyanya yang berjudul “Psychological-ethical
Inquiry into a Theory of Value”. Namun Meinong bukan orang pertama yang
menaruh perhatian pada nilai, orang yang pertama adalah Adam Smith (1723-1790),
tapi perhatiannya terhadap nilai hanya terbatas pada bidang ekonomi dan
poliyik. Dan H. Lotze, seorang filsuf jerman yang menjadi pelopor dalam
penyelidikan atas nilai. Ketika positivisme berusaha menetapkan sebuah realitas
yang bebas nilai, yang akan memungkinkan bagi penerapan secara ketat metode
naturalis, Lotze memandang ide tentang nilai sebagai yang tidak tergantung pada
realitas. Konsepsi ini memungkinkan baginya untuk menggambarkan sebuah kawasan
yang akan terlindung dari serbuan kaum naturalis, dan dengan cara ini
dikemukakan perbedaan antara ada (being)
dengan nilai (value). Kemudian muncullah
filsuf yang bernama F. Nietzche (1844-1900) menyatakan perlunya “pengubahan
atas nilai”. Nilai ini katanya, diciptakan oleh manusia menjadi stabil dan
berpengaruh hanya untuk waktu yang sementara, tabel nilai akhirnya digantikan
oleh tabel ini yang lain.
Meinong
dan Christian von Ehrenfels (1850-1932), merupakan tokoh yang pertama-tama
memperjuangkan subjektivisme, adalah murid dari Franz Brentano (1837-1917) di
Universitas Wina. Ehrenfels tidak memiliki orientasi yang subjektivis,
Meinonglah yang pertama-tama memberikan jawaban yang subjejtivistis terhadap
persoalan tentang hakikat nilai. Meinong mencari kunci permasalahan nilai dalam
ranah psikologi, serta percaya bahwa persoalan nilai berakar dalam kehidupan
emosional. Meinong berkata, “Sesuatu itu memiliki nilai manakala ia
menyenangkan kita dan sejauh mana ia menyenangkan kita”.
Antara
Meinong dan Ehrenfels saling melakukan diskusi dengan karya-karya mereka yang
sempat menjadi polemik. Nilai benar-benar merupakan subjektif alam emosional
kita, namun mengacau pada objek yang dipertahankan dengan menggunakan keputusan
eksistensial. Meinong menulis, “objek itu memiliki nilai sejauh ia memiliki
kemampuan untuk memberikan dasar efektif bagi sentimen nilai”. Ehrenfels
mengegaskan bahwa tesis Meinong memiliki banyak kelemahan. Jika satu objek
bernilai kalau ia dapat mengjasilkan rasa nikmat pada diri kita, maka hanya
benda yang ada yang akan bernilai. Yang benar adalah, kita menilai apa yang
kita eksis, keadailan yang sempurna, kebaikan moral yang tidak pernah menjadi
riel. Karena alasan inilaj, Ehrenfels tidak berpikir bahwa dasar nilai dapat
ditemukan dalam sensai kenikamatan atau kecocokan, namun agaknya orang haris
mencarinya di dalam kawasan nafsu atau hasrat. Segala sesuatu yang kita hasrati
atau kita dambakan adalah bernilai, dan semua itu demikian karena kita
menghasrati atau mendambakannya.
Meinong
berpendapat bahwa nilai objek itu tidak tegantung pada apakah ia dihasrati,
karena orang menghasrati sesuatu yang tidak dimiliki, dan bahkan sebaliknya,
kita menilai segala sesuatu yang ada yang telah kita miliki, seperti lukisan
yang kita gantungkan di kamar kira, kesehatan kita dan sebagainya. Mendapat
kritikan dari Meinong, Ehrenfels meninjau kembali teorinya dan kemudia
mengemukakan sebuah definisi baru: “nilai adalah hubungan antara subjek dengan
objek, berdasarkan gambaran yang jelas dan utuh dari keberadaan objek yang menentukan
di dalam diri kita, sepanjang jajaran perasaan kita dari rasa nikmat hingga
rasa sakit, satu kondisi emosional yang lebih mendalam daripada citra
ketidakberasaan dari objek yang sama. Dengan definisi ini, Ehrenfels mendekati
teori oleh Meinong yang pada gilirannya juga dimaksudkan untuk mengakui
kesalahannya.
Nilai
suatu objek, menurut Meinong, terkandung di dalam kemampuannya untuk menentukan
sensasi subjek bukan hanya berdasarkan atas eksistensi objek, melainkan juga
berdasarkan pada ketidakeksisannya. Dia mengakui adanya pergolakan motif di
dalam kesadaran dan dengan ini dia bergerak mendekati Ehrenfels, karena nilai
mungkin akan terkandung di dalam kemampuan yang dimiliki objek untuk meransang
hasrat selama berlangsungnya pergolakan motif. Perdebatan terakhir terlihat
pada karya Ehrenfels yang disebutkan, System
der Werttheorie (1898). Dalam karyanya Ehrenfels mendefinisikan nilai
sebagai hubungan, secara keliru diobjektivisasikan oleh bahasa, antar objek dan
kecenderungan subjek ke arah hasrat. Demikian akhir polemik antara dua filsuf
Austria ini.