Minggu, 27 Maret 2016

STRUKTUR ONTOLOGIS 1

NILAI

Pembahasan tentang nilai muncul pertama kali pada abad ke 19. Keindahan sebagai salah satu perwujudan dan cara pandang yang khas terhadap dunia, sebuah cara yang disebut dengan nilai. Baik pada zaman kuno maupun pada zaman modern, orang tanpa menyadarinya telah menempatkan nilai di bawah ada (being) dan mengukur keduanya dengan tolak ukur yang sama. Nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang menyenangkan kita, identik dengan aoa yang kita inginka, sasaran perhatian kita, dan Nicolai Hartmann menyebutkan bahwa nilai adalah esensi, ide Platonik. Kenikmatan, keinginan, perhatian merupakan suasana kejiwaan, nilai ini direduksi menjadi pengalaman pribadi semata. Kesalahan yang dibuat dalam penggabungan nilai dengan esensi disebabkan oleh pengacauan antara yang bukan realitas dan identitas yang menandai esensi.
“Nilai” dan “benda” merupakan dua hal yang berbeda, benda merupakan sesuatu yang bernilai, yaitu sesuatu yang ditambah dengan nilai di dalamnya. Sebuah patung akan menyimpan semua ciri khas pualam pada umumnya, beratnya, kerasnya, dan sebagainya, sekalipun demikian sesuatu yang ditambahkanlah yang mengubahnya menjadi sebuah patung. Oleh karena itu, nilai bukan merupak benda atau pengalaman, juga bukan merupakan esensi, nilai adalah nilai.
Nilai tidak ada untuk dirinya sendiri, setidaknya ia membutuhkan pengemban untuk berada. Oleh karena itu, nilai nampak pada kita seolah-olah hanya merupakan kualitas dari pengembangan nilai ini. Keindahan dari sebuah lukisan, kebagusan dari pakaian, kegunaan dari sebuah peralatan. Walaupun demikian, jika kita mengamati sebuah lukisan, kita akan melihat kualitas penilaian yang berbeda dengan kualitas yang lain.
Nilai tidak menambah realitas atau substansi pada objek, melainkan hanya nilai, karena kualitas tidak dapat ada melalui dirinya sendiri, nilai adalah milik semua objel yang oleh Husserl dikatakan tidak independen, yakni nilai tidak memiliki kesubstantivan. Karena berupa kualitas, nilai bersifat parasitis yang tidak dapat hidup tanpa didukung oleh objek yang riel, dan membawa eksistensi yang mudah rusak, setidak-tidaknya ketika merupakan kata sifat yang berkaitan dengan “benda”.
Nilai dan objek ideal berbeda, nilai bersifat tidak riel sedangkan objek ideal bersifat riel dan ideal. Perbedaan antara nilai dengan objek ideal dapat dilihat ketika kita membandingkan keindahan yang merupakan nilai dengan ide tentang keindahan. Kita menangkan keindahan melalui emosi, sedangkan ide tentang keindahan dipahami melalui intelektual. Perbedaan antara nilai dan objek ideal pada umumnya juga dibuat dengan pernyataan bahwa ojek ideal itu “ada”, sedangkan nilai itu “tidak ada”, mereka hanya memiliki nilai.
Ciri khas dasar lain dari nilai adalah polaritas. Sering dikatakan bahwa polaritas berarti perpecahan dengan ketidakacuhan. Dalam kehadiran objek dunia fisik kita dapat menjadi tidak acuh. Tidak ada karya seni yang bersifat netral, juga tidak ada orang yang dapat menjadi tidak acuh ketika dia mendengarkan simfoni, membaca puisi, atau melihat lukisan. Selain itu, nilai tersusun secara hierarkis yakni ada nilai yang lebih tinggi dan ada nilai yang lebih rendah. Nilai hierarkis nilai juga jangan dikacaukan dengan klasifikasinya. Klasifikasi tidak mesti berarti urutan pentingnya. Keberadaan urutan hierarkis merupakan sebuah rangsangan yang menyegarkan bagi tindakan kreatif dan peninggian moral. Nilai itu “objektif” jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai, sebaliknya nilai itu “subjektif” jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penialaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis mapun fisis.
Penilaian secara subjektif membuat terbentuknya kaum subjektivis.  Alexsius von Meinong (1853-1921) adalah orang pertama yang menyatakan penafsiran subjektivistis terhadap nilai, dalam karyanya yang berjudul “Psychological-ethical Inquiry into a Theory of Value”. Namun Meinong bukan orang pertama yang menaruh perhatian pada nilai, orang yang pertama adalah Adam Smith (1723-1790), tapi perhatiannya terhadap nilai hanya terbatas pada bidang ekonomi dan poliyik. Dan H. Lotze, seorang filsuf jerman yang menjadi pelopor dalam penyelidikan atas nilai. Ketika positivisme berusaha menetapkan sebuah realitas yang bebas nilai, yang akan memungkinkan bagi penerapan secara ketat metode naturalis, Lotze memandang ide tentang nilai sebagai yang tidak tergantung pada realitas. Konsepsi ini memungkinkan baginya untuk menggambarkan sebuah kawasan yang akan terlindung dari serbuan kaum naturalis, dan dengan cara ini dikemukakan perbedaan antara ada (being) dengan nilai (value). Kemudian muncullah filsuf yang bernama F. Nietzche (1844-1900) menyatakan perlunya “pengubahan atas nilai”. Nilai ini katanya, diciptakan oleh manusia menjadi stabil dan berpengaruh hanya untuk waktu yang sementara, tabel nilai akhirnya digantikan oleh tabel ini yang lain.
Meinong dan Christian von Ehrenfels (1850-1932), merupakan tokoh yang pertama-tama memperjuangkan subjektivisme, adalah murid dari Franz Brentano (1837-1917) di Universitas Wina. Ehrenfels tidak memiliki orientasi yang subjektivis, Meinonglah yang pertama-tama memberikan jawaban yang subjejtivistis terhadap persoalan tentang hakikat nilai. Meinong mencari kunci permasalahan nilai dalam ranah psikologi, serta percaya bahwa persoalan nilai berakar dalam kehidupan emosional. Meinong berkata, “Sesuatu itu memiliki nilai manakala ia menyenangkan kita dan sejauh mana ia menyenangkan kita”.
Antara Meinong dan Ehrenfels saling melakukan diskusi dengan karya-karya mereka yang sempat menjadi polemik. Nilai benar-benar merupakan subjektif alam emosional kita, namun mengacau pada objek yang dipertahankan dengan menggunakan keputusan eksistensial. Meinong menulis, “objek itu memiliki nilai sejauh ia memiliki kemampuan untuk memberikan dasar efektif bagi sentimen nilai”. Ehrenfels mengegaskan bahwa tesis Meinong memiliki banyak kelemahan. Jika satu objek bernilai kalau ia dapat mengjasilkan rasa nikmat pada diri kita, maka hanya benda yang ada yang akan bernilai. Yang benar adalah, kita menilai apa yang kita eksis, keadailan yang sempurna, kebaikan moral yang tidak pernah menjadi riel. Karena alasan inilaj, Ehrenfels tidak berpikir bahwa dasar nilai dapat ditemukan dalam sensai kenikamatan atau kecocokan, namun agaknya orang haris mencarinya di dalam kawasan nafsu atau hasrat. Segala sesuatu yang kita hasrati atau kita dambakan adalah bernilai, dan semua itu demikian karena kita menghasrati atau mendambakannya.
Meinong berpendapat bahwa nilai objek itu tidak tegantung pada apakah ia dihasrati, karena orang menghasrati sesuatu yang tidak dimiliki, dan bahkan sebaliknya, kita menilai segala sesuatu yang ada yang telah kita miliki, seperti lukisan yang kita gantungkan di kamar kira, kesehatan kita dan sebagainya. Mendapat kritikan dari Meinong, Ehrenfels meninjau kembali teorinya dan kemudia mengemukakan sebuah definisi baru: “nilai adalah hubungan antara subjek dengan objek, berdasarkan gambaran yang jelas dan utuh dari keberadaan objek yang menentukan di dalam diri kita, sepanjang jajaran perasaan kita dari rasa nikmat hingga rasa sakit, satu kondisi emosional yang lebih mendalam daripada citra ketidakberasaan dari objek yang sama. Dengan definisi ini, Ehrenfels mendekati teori oleh Meinong yang pada gilirannya juga dimaksudkan untuk mengakui kesalahannya.
Nilai suatu objek, menurut Meinong, terkandung di dalam kemampuannya untuk menentukan sensasi subjek bukan hanya berdasarkan atas eksistensi objek, melainkan juga berdasarkan pada ketidakeksisannya. Dia mengakui adanya pergolakan motif di dalam kesadaran dan dengan ini dia bergerak mendekati Ehrenfels, karena nilai mungkin akan terkandung di dalam kemampuan yang dimiliki objek untuk meransang hasrat selama berlangsungnya pergolakan motif. Perdebatan terakhir terlihat pada karya Ehrenfels yang disebutkan, System der Werttheorie (1898). Dalam karyanya Ehrenfels mendefinisikan nilai sebagai hubungan, secara keliru diobjektivisasikan oleh bahasa, antar objek dan kecenderungan subjek ke arah hasrat. Demikian akhir polemik antara dua filsuf Austria ini.


Refleksi 4

EKSTENSI DAN INTENSI

Pada tanggal 21 Maret 2016 Mata Kuliah Matematika Prof Marsigit mengatakan bahwa struktur lengkap dari filsafat itu ada yang namanya Ekstensi dan Intensi. Ekstensi itu banyak macamnya, salah satunya diekstensikan dalam ruang dan waktu. Ekstensi dalam bidang waktu ialah timeline atau sesuai dengan sejarahnya. Pada setiap titik dalam sejarah itu kita ektensikan dalam ruangnya, ruang itu keanekaragman dan dimensinya. Sedangkan intensinya, pada sebuah titik jika diintensikan maka ketemu kedalamannya. Ekstensi dan intensi yang dimaksud dalam hal ini adalah sesuai dengan pemikiran para filsuf, matematikawan serta para ilmuwan. Hal ini bertujuan agar kerja kita valid dan akuntabel, karena pemikiran kita berdasarkan dengan pemikiran para filsuf yang memang sudah bergerak di bidang mereka. Jika kita menggunakan pemikiran sendiri, tanpa berpedoman pada pemikiran para filsuf maka itu akan menjadi “sesat” karena pemikiran kita belum terlalu mendalam di bidang ini.
Dalam sebuah ilmu pengetahuan, kita akan mempelajari suatu hal yang paling dasar dan mendalam secara unsur ontologisnya, jadi tidak ada yang lebih dalam darinya dari yang ada dan mungkin ada. Selama yang “ada” dan “mungkin ada” ini menyangkut pikiran kita, maka tidak ada yang lebih dalam lagi. Kalau menyangkut hati dan spiritual kita ada yang lebih dalam lagi yaitu kuasa tuhan. Bagaimana caranya mengambil unsur ontologis dari sebuah ilmu pengetahuan? Ibarat sebuah pohon jika kita akan membahas tentang bunga, tapi kita mulai membahas bunga terlebih dahulu maka akan sulit untuk membahas sampai ke akarnyaTapi sebaliknya, jika kita mulai mengambil akarnya maka kita akan dengan mudah untuk mengambil bunganya. Hal ini dikarenakan sari-sari makanan itu mengalir dari akar menuju ke bunga.
Kalau kita ibaratkan bahwa matematika itu adalah dahan, dalam filsafat matematika diartikan sebagai ilmu bidang. Ilmu bidang itu batasnya adalah Auguste Comte, ilmu bidang awalnya lahir oleh pemikiran dari Auguste Comte ini. Matematika, kimia, biologi, dan segala macam ilmu geo seperti geologi, geografi, dan lain-lain sejak masa Auguste Comte ini sangat berkembang pesat karena semangatnya yang ingin membangun dunia. Matematika murni juga merupakan ilmu bidang, sehingga akan lebih baik jika kita mengambil sebelum ilmu bidang yaitu filsafatnnya daripada satuan ontologisnya yang akan anda transformasikan dan harus bisa diekstensikan ke ruang dan waktu serta akan mengalir ke pembelajaran dalam matematika.
Dalam ilmu sosial dan statistik itu kita ambil unsur satuannya, kalau dalam ilmu statistik yaitu satuan data, ilmu biologi satuannya adalah genetika, ilmu fisika satuannya adalah atomnya, sedangkan dalam ilmu filsafat itu satuannya adalah unsur dasarnya. Ciri-ciri unsur dasar itu diambil dari istilahnya, istilah tersebut harus singular. Contohnya, “Marsigit itu singular, tapi kalau kita mau mencari lebih dalam lagi kita bisa membagi marsigit itu dibagi menjadi 2 yaitu mar dan sigit, mar itu bisa berarti tersamar dan sigit bisa berarti bagus, tersamar itu ilmu pengetahuan sedangkan bagus itu bisa diartikan arjuna, sehingga arti dari kata “Marsigit” itu adalah arjuna yang sedang mencari ilmu pengetahuan. Pengelompokkan atau pemecahan tersebut akan berbeda sesuai dengan pemikiran orang yang memikirnya dan teknolgi yang digunakannya, bisa saja “Marsigit” dibagi menjadi tiga yaitu “Mar”, “Si”, dan “Git”. Pemecahan tersebut itu menggunakan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan itu ada yang tradisional (klasik) dan modern.
Pengecekan unsur ontologis yaitu sejauh mana mengalirnya ekstensi ke timeline, dituntunnya pemikiran dari para filosof, kedalamannya, epistemologinya seperti apa, etik dan estetikanya. Apa yang akan kita pikirkan dan tulis harus berpedoman pada pemikiran para filsuf, jangan menggunakan hipotetical analysis. Hipotetical analysis bagi orang yang belum berpengalama merupakan ilmu yang tidak valid (asal-asalan) jadi tidak diperbolehkan. Beda dengan hipotetical analysis yang dilakukan oleh orang yang sudah berpengalaman, hipotetical analysis mereka hanya secara eksplisit karena sudah di bidang mereka.
Kalau kita teliti menggunakan ilmu pengetahuan apa yang kita lakukan merupakan simulasi dari kehidupan kita sehari-hari dari yang “ada dan yang mungkin ada. Semua apa yang kita pikirkan dan kita alami dalam kehidupan sehari-hari kita, dapat kita jadikan sebagai unsur ontologisnya. Lalu unsur tersebut harus dikaitkan dengan timeline dan pemikiran oleh para filsuf termasuk dalam pembelajaran matematika. Contohnya cinta, cinta itu sudah ada sejak zaman nabi adam. Tergantung bagaimana kita memaknai cinta tersebut lalu kita transformasikannya. Bisa dari kata benda atau kata sifatnya. Timelinenya berdasarkan pemikiran para filsuf, dimulai dari zaman yunani kemudian kita arahkan ke filsafat secara komprehensif, komprehensif disini yang dimaksudkan adalah pikirian di dalam pikiran dan pikiran di luar pikiran, siapa yang mengatakan dan bagaimana orang tersebut mengatakannya harus jelas. Timelinenya harus mengalir dan terus mengalir menembus ruang dan waktu. Menembus ruang dan waktunya itu dimulai dari zaman kegelapan yang didominasi oleh gereja. Lalu masuk ke zaman pencerahan yaitu Descartes dan David Huke lalu masuk ke zaman modern dan sampai ke zaman Auguste Comte.
Supaya jelas, kita buat bagannya sehingga apa yang kita sampaikan dapat mengalir. Kalau dalam bahasa jawa itu dinamakan Cokro Manggilingan. Cokro itu berputar dan manggilingan itu menggelinding, menggelinding itu karena bundar. Itulah kodrat manusia yaitu meniru sifat bumi mengelilingi matahari, jadi ini merupakan simulasi hidup kita. Apapun persoalan kalau sudah dibiasakan akan mengalir, maka kita akan mensyukuri apa yang ada saat ini. Cokro Manggilingan menginteraksikan itu dalam filsafatnya dinamakan Hermenitika. Maka ontologis dari belajar adalah hermenitika, interaksi antara guru dengan siswa, interaksi antara siswa dengan siswa, interaksi antara siswa dengan materinya, interaksi antara buku dengan materinya, interaksi antara siswa dengan matematika, serta interaksi antara ada dan mungkin ada di dalam pembelajaran matematika. Dalam ajaran islam dinamakan silaturahim karena dengan silaturahim akan menambah ilmu, menambah pengalaman, menambahkan persaudaraan, dan mendapatkan pahala.

Setelah membahas tentang ektensi dan intensi unsur ontologis suatu ilmu pengetahuan, dan berakhir pada pembahasan tentang bagaimana kita menuliskan suatu alur untuk unsur dari ilmu pengetahuan supaya jelas dan mudah dipahami akan didapati tentang sesuatu itu harus mengalir apa adanya dan dengan mengalirnya suatu hal tersebut kita harus mensyukurinya. Saya menjadi tertarik dengan kalimat “segala sesuatu harus mengalir apa adanya dan harus kita syukuri”. Saya sangat setuju dengan kalimat tersebut, karena dengan kita mensyukuri apa saja yang kita peroleh makan akan menjadikan kita menjadi manusia yang sempurna, manusia yang sesungguhnya, dan manusia yang akan memanusiakan manusia. Tapi sebelum kita mensyukuri segala hal, kita harus mengerti jati diri kita sendiri, kita harus mengenal diri kita baik-baik. Karena dengan kita mengenal diri kita sendiri maka kita akan dengan mudah mengenal orang lain dan bahkan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Dengan begitu kita juga akan semakin mensyukuri atas semua yang telah Tuhan ciptakan dan berikan kepada kita sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna.

Minggu, 20 Maret 2016

Refleksi 3

STRUKTUR ONTOLOGIS
Hermenitika

Struktur Hermenitika dari Matematika Model artinya dari struktur filsafatnya. Struktur itu adalah mencari unsur ontologisnya atau filsafat unsur ontologis. Di dalam matematika yang disebut unsur ontologis yaitu dari unsur yang tak terdefinisikan menjadi unsur yang terdefinisikan. Kalau dalam bidang biologi, unsur ontologisnya atau unsur dasarnya adalah unsur DNA nya. Kalau dalam bidang psikologi, unsur ontologisnya adalah satuan unit pemahamannya apa. Dalam bidang fisika, unsur dasarnya adalah atom. Sedangkan dalam statistik, unsur ontologisnya adalah unit peristiwanya apa. Unsur ontologis dalam filsafat itu objeknya, objek filsafat. Objek filsafat adalah ada dan yang mungkin ada. Unsur dasar merupakan unsur primitif yang sudah tidak bisa digaji lebih jauh lagi.
Objek filsafat yang “ada” meliputi semuanya, yang dapat dipikirkan oleh manusia. Untuk mempelajari filsafat ilmu, kita harus mempelajari filsafat terlebih dahulu baru mempelajari imu kemudian filsafat ilmunya. Sedangkan untuk mempelajari filsafat matematika, kita harus mempelajari filsafat kemudian mempelajari matematika baru kemudian mempelajari filsafat matematika. Jadi yang paling tinggi kedudukannya adalah yang ada di dalam pikiran kita, dan yang lebih tinggi dari ini adalah yang ada di dalam hati kita untuk mempelajari dan meyakini agama (spiritual).
Objek filsafat yang “ada” terbagi menjadi dua yaitu ada yang tetap dan ada yang berubah. Ada yan tetap yaitu sesuatu yang ada di pikiran kita atau yang dinalar, sedangkan ada yang berubah yaitu sesuatu yang di luar pikiran kita atau yang dialami oleh kita (pengalaman kita). Contohnya dalam masakan, resep makanan itu tetap karena resep makanan ada di dalam pikiran kita, yang berubah adalah hasil akhir masakannya (sudah diterapkan) karena hasil dari apa yang kita masakan di luar pikiran kita, pasti kita akan menambah sesuatu bahan yang dianggap kita kurang. Sesuatu yang di luar pikiran kita yang menjadi menjadi objek yang real (nyata), melahirkan sebuah kaum yang disebut kaum Realisme. Salah satu tokohnya adalah Aristoteles. Aristoteles membicarakan apa yang ada sesuai dengan kenyataan. Sedangkan kaum yang meyakini tentang nalar atau rasio disebut Rasionalisme, salah satu tokohnya adalah Plato. Dalam bukunya Prof Marsigit yang berjudul Filsafat Matematika, menyatakan bahwa pandangan kaum rasionalis, sumber dan dasar pengetahuan adalah akal (reason). Kalangan rasionalis menyatakan bahwa akal itu universal dalam semua manusia, dan pemikiran (akal yang aktif) merupakan elemen penting manusia. Pemikiran merupakan satu-satunya instrumen kepastian pengetahuan, dan akal merupakan satu-satunya jalan untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dalam ilmu pengetahuan. Akal dipahami oleh kaum rasionalis sebagai perantara khusus, yang menyatakan bahwa dengan adanya akal kebenaran dapat dikenal dan ditemukan. Oleh karena itu, kunci kunci kevalidan dari ilmu pengetahuan bagi kaum rasionalis adalah akal atau pikiran.
Filsafat itu tergantung dari karakter apa yang ada, objek yang ada di pikirannya. Nenek moyang filsafat itu, dari yang tetap dan yang berubah. Yang tetap adalah permenides, dan yang berubah adalah heraclitos. Kaum yang menggunakan logika dalam berpikir dan bertindak disebut kaum logism. Sedangkan pikiran itu bersifat itu analitik, contoh dari analitik adalah afektif yang bersifat apriori karena besifat tetap, yang dimaksud tetap di sini adalah konsisten. Maka kebenarannya menjadi koheren, dan filsafatnya disebut koherenism. Kebenaran dari kaum realisme adalah cocok atau korespondensi, cocok dengan persepsi yang menjadikan munculnya sebuah filsafat kaum korespondensm. Benar itu relatif tergantung dengan pandangan orang yang melihatnya.
Konsep untuk matematika murni hanya benar jika masih di dalam pikiran kita saja dan akan menjadi salah jika konsep yang ada di dalam pikiran kita dituliskan dan diterapkan. Contoh angka “2” jika masih ada di dalam pikiran kita maka benar, karena sesuai dengan apa yang dia pikirkan. Tetapi  ketika dituliskan, 2 tidak sama dengan 2, karena 2 dikiri dan dikanan berbeda, bisa berbeda bentuknya, warnanya atau pun yang lainnya.
Menurut yang saya baca dari buku yang berjudul Filsafat Matematika, pengarang Prof Marsigit, Ilham Rizkianto dan Nila Mareta Murdiyani, ada perbedaan yang mendasar dari kaum rasionalis dan empiris, perbedaan itu terletak dalam menyatakan nilai kebenarannya. Kebenaran ilmu pengetahuan menurut kaum rasionalis bukan saja diperoleh dari akal manusia saja, melainkan pengetahuan tersebut hasrus mendapat pengesahan atau pengwajaran terlebih dahulu dari akal. Sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan menurut kaum empiris, kebenaran ilmu pengetahuan diperoleh dari pengalaman dari panca indera dan pengetahuan itu harus disahkan pula melalui panca indera. Beberapa tokoh kaum rasionalis seperti Plato, Leibniz, Rene Descartes, dan lain-lain. Sedangkan beberapa tokoh kaum empiris yaitu Aristoteles, John Stuart Mill, John Locke, David Huke dan lain-lain.
Karena perbedaan menentukan nilai kebenaran suatu pengetahuan yang saling bertolak belakang ini, kaum rasionalis dan empiris selama berabad-abad mereka bertengkah menentukan siapa yang paling benar. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut munculah tokoh pendamai yang mempunyai solusi yaitu Immanuel kant. Immanuel Kant berkata, “Hai Descartes, kamu itu siapa mendewakan rasio tapi mengabaikan pengalaman, Begitu juga ke David Huke, hai Huke, kamu itu siapa mendewa-dewakan pengalaman tapi mengabaikan rasio. Dari pertengkaran tersebut, Immanuel Kant menengahi akhirnya menggabungkan kedua-duanya yaitu apriori dan sintetik. Maka sebenar-benarnya ilmu, menurut imanuel kant ialah sintetik apriori.
Menurut Immanuel Kant, konsep matematika diperoleh berdasarkan hukum kontradiksi. Akal budi dapat memperoleh pemahaman sintetik hanya melalui hukum kontradiksi yaitu dengan cara mensistesiskan beberapa konsep yang ada. Jika matematika dikembangkan hanya dengan menggunakan metode analitik maka tidak akan dihasilkan konsep baru,  dan menyebabkan matematika bersifat sebagai ilmu fiksi. Selain itu matematika tidak dikembangkan hanya dengan konsep aposteriori sebab jika demikian maka matematika akan bersifat empiris. Oleh karena itu, data-data empiris yang diperleh dari pengalaman penginderaan diperlukan untuk menggali konsep-konsep matematika yang bersifat apriori. Pemahaman konsep matematika tergantung dari pemahaman kita tentang ruang dan waktu sebagai struktur intuisi yang bersifat formal dan a priori. Konsep dan keputusan matematika yang bersifat sintetik apriori menyebabkan ilmu pengetahuan alam pun menjadi tergantung pada matematika dalam menjelaskan dan memprediksi fenomena alam.
Matematika yang bersifat sintetik apriori dapat dikonstruksi melalui tiga tahap intuisi, yaitu intuisi penginderaan, intuisi akal, dan intuisi budi. Intuisi penginderaan terkait dengan objek matematika yang dapat diserap sebagai unsur aposteriori. Intuisi akal mensintesiskan hasil intuisi penginderaan ke dalam intuisi ruang dan waktu. Dengan intuisi budi kita dihadapkan putusan-putusan argumentasi matematika. Kant mengakui bahwa selamanya kita tidak akan pernah bisa mengungkap hakekat noumena dibalik phenomena nya. Oleh karena itu, Kant memberi solusi bahwa konsep matematika pertama-tama diperoleh secara apriori dari pengalaman dengan intuisi penginderaan, tetapi konsep yang diperoleh tidaklah bersifat empiris melainkan bersifat murni. Proses demikian merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam penalaran matematika. Proses berikutnya adalah proses sintetik intuisi akal yang memungkinkan mengkonstruksi konsep matematika yang bersifat sintetik dalam ruang dan waktu. Sebelum diambil putusan-putusan dengan intuisi budi terlebih dahulu objek-objek matematika dalam bentuk form disintesiskan ke dalam categories sebagai kuantitas, kualitas, relasi, dan modalitas. Dengan demikian maka intuisi murni menjadi landasan bagi matematika dan kebenaran matematika bersifat apodiktik (prosedur pembuktiannya jelas). Pemahaman matematika secara transenden melalui intuisi murni dalam ruang dan waktu inilah yang menyebabkan matematika mungkin sebagai ilmu.
Aguste comte mengusulkan untuk membangun dunia dengan pikirannya. Auguste Comte berbicara pada Immanuel Kant, Hai Kant kalau kau mau bangun dunia mau pilih yang mana, agama, filsafat, atau metode saintifik/ilmiah”, akan tetapi Kant tidak bisa menjawabnya. Kemudian Aguste Comte menjawab sendiri didalam bukunya, jawaban atas pertanyaan yang diajukannya kepada Kant adalah saintifik. Menurut Aguste Comte, agama tidak logis, jadi tidak bisa dipakai untuk dasar membangun dunia, dan filsafat masih bisa digunakan. Menurutnya untuk membangun dunia maka gunakan saintifik. Seperti halnya kurikulum Indonesia saat ini yang menggunakan metode saintifik ,maka secara tidak langsung dia mengikuti Aguste Comte. Akibat dari metode saintifik ini, agama menjadi terpinggirkan atau termarginalkan. Baik kehidupan sehari-hari (dunia nyata) maupun dunia maya ketika kita membuka internet, bukan spiritualisme yang muncul tapi hedonisme, sebagai contohnya adalah banyaknya kasus penculikan, pembunuhan, perempuan yang menjadi laki-laki atau sebaliknya, perkawinan sejenis. Struktur Indonesia yang paling dasar itu material, formal, normatif dan diatasnya ada spiritual. Akan tetapi, struktur Indonesia sudah membentuk struktur kekinian. Struktur kekinian yaitu archic, tribal, ferdal, modern, post modern, post-post modern (powernow). Pilar-pilarnya adalah kapitalism, pragmatism, hedonism, materialism dan liberalism. Ketika kita dalam kehidupan sehari-hari, kegiatan kita hanya bangun tidur kemudian berangkat ke kampus, pulang, terus tidur lagi maka kita sudah termasuk pilar-pilar tersebut.
Ujung tombak kapitalism ialah ICT, pendidikan, budaya, ekonomi, sosial, dan politik. Ujung tombaknya menguasai dunia ialah itu semua. Kita akan merasa tertinggal jika kita ketinggalan teknologi. Menurut saya, mengikuti perkembangan teknologi juga penting. Akan tetapi, kita harus memilah-milah jenis teknologi yang akan kita gunakan. Apakah teknologi itu membawa kebermanfaatan untuk kita atau tidak. Bukan hanya kebermanfaatannya saja yang harus kita lihat akan tetapi karena kita memiliki agama kita juga harus menggunakan teknologi tersebut sesuai dengan ajaran yang kita yakini, jangan sampai kita memanfaatkan teknologi untuk suatu hal yang melanggar ajaran yang kita yakini. Dan yang perlu kita garis bawahi disini adalah kita sudah mengenal jati diri kita sendiri, sehingga kita tidak akan terpengaruh oleh orang lain yang menginginkan kita terjerumus dan terpuruk. Jika kita sudah bisa mengenal diri sendiri, maka kita akan dengan mudah mengenal orang lain kemudian akan memperlakukan mereka sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, “memanusiakan manusia”.


Refleksi 2

Wadah Dan Isi
(Kepala dan Otak)

Pada perkuliahan hari Senin, 7 maret 2016 mata kuliah matematika model. Prof. Marsigit menyatakan tentang wadah dan isi sebagai struktur dari yang ada (unsur primitif). Unsur primitif merupakan unsur terkecil dari suatu hal, sehingga kita tidak bisa mendefinisikannya lagi. Dan kita mentok pada definisi tersebut. Contohnya kata “adalah”, kita tidak bisa mendefinisikan adalah itu apa. Karena “adalah” merupakan unsur terkecil atau primitif yang tidak bisa kita jabarkan lebih lanjut lagi. Kita dapat mengatakan “sesuatu hal” merupakan unsur primitif harus punya landasannya, jika kita tidak mempunyai landasan yang tepat maka akan menjadi rancu dan kacau. Contoh pada kehidupan sehari-hari, orang yang beragama pasti landasannya kitab suci, jika mereka tidak mempunyai landasan yang mereka percayai maka mereka akan terombang-ambing dalam menjalani kehidupan. Akan tetapi pada kasus anak yang masih kecil, mereka belum bisa menetapkan isi hatinya dalam melakukan sesuatu, sehingga mereka cenderung hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh orang yang dipercaya olehnya dan bahkan akan bertindak sesuka hatinya tanpa memperdulikan dampak dari kegiatan yang dilakukannya karena anak itu belum mempunyai landasan untuk melakukan sesuatu. Di dalam matematika murni terdapat kaum foundalism dan intuisionism. Kaum foundalism merupakan kaum yang berfikirnya sudah menggunakan landasan, sedangkan kaum intusionism merupakan kaum yang berpikirnya hanya menggunakan intuisi semata tanpa landasan yang jelas. Semua unsur primtif itu merupakan kategori yang “ada” sehingga dia punya struktur dan strukturnya disebut wadah dan isi.
Kalimat “Saya adalah manusia”, saya merupakan predikat dan manusia merupakan subjeknya. Pada kalimat tersebut tersirat kata “saya” sama dengan “manusia”. Maksudnya “sama dengan” disini yaitu untuk menghubungkan antara predikat dan subjeknya. Dari unsur primitif ini akan berkembang menjadi luas. Dalam matematika unsur primitif ini akan berkembang menjadi unsur yang bedefinisi kemudian menjadi sebuah aksioma yang merupakan hubungan antara definisi dalam matematika. Setelah terbentuk aksioma, aksioma-aksioma akan dikembangkan dan digabung sehingga membentuk sebuah teorema. Teorema satu dengan teorema lain harus berhubungan dan tidak boleh kontradiksi satu dengan yang lainnya. Bisa dikatakan bahwa teorema yang ke seratus akan sama dengan teorema yang pertama atau sebelum-sebelumnya, hanya saja teorema tersebut dikembangkan.
Membicarakan struktur dalam kacamata filsafat maka akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan pemikiran manusia yang semakin berkembang pula. Dalam filsafat tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sehingga seseorang bebas berpikir mengenai segala hal. Akan tetapi, harus diingat bahwa dalam berpikir juga harus ada batasannya terutama berpikir yang berhubungan dengan keyakinan terhadap Tuhan (agama). Dalam filsafat, tidak ada yang lebih dalam dan tidak ada yang lebih sederhana kecuali yang ada. Struktur dari yang ada adalah wadah dan isi. Pendapat setiap orang  tentang “ada” itu berbeda beda. Menurut kaum kapitaslis, “ada” merupakan “modal”. Dan kaum yang lainnya mungkin akan berpendapat yang lain tentang “ada”. Secara filsafat, konsep matematika murni hanya ada di dalam pikiran kita saja kalau sudah kita terapkan dalam tulisan maka akan menjadi salah maknanya. Karena konsep matematika tidak dapat dituliskan, dan hanya benar jika ada di dalam pikiran kita saja. Lain halnya dengan matematika sekolah, maka hal tersebut akan dibenarkan.
Karena kuliah yang singkat, tidak banyak yang dapat disampaikan oleh Prof Marsigit. Akan tetapi mengenai wadah dan isi, saya jadi berpikir dan penasaran akan suatu hal. Jikalau saya bisa mengibaratkan kepala sebagai wadah dan otak sebagai isinya. Maka apa yang membedakan otak yang dimilikinya manusia dengan otak yang dimiliki oleh binatang? Ada yang berkata bahwa yang membedakan manusia dan binatang adalah bahwasanya manusia memiliki akal untuk berpikir sedangkan binatang tidak punya. Lalu apa fungsi otak pada binatang, apakah binatang tidak bisa berfikir? Jika binatang tidak berfikir, kenapa binatang bisa membedakan makanan yang mereka bisa makan dan makanan yang tidak bisa mereka makan. Apakah berdasarkan pengalaman mereka ataukah binatang tersebut hanya menggunakan intuisi mereka dalam mencari makanan? Contohnya, kambing, kambing bisa memilih daun yang enak dan daun yang tidak enak, mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak. Lalu apa perbedaan antara intuisi dan berpikir?


Jumat, 04 Maret 2016

REFLEKSI HERMENITIKA KEHIDUPAN

HERMENITIKA HIDUP

Filsafat mempengaruhi cara berfikir seseorang. Orang yang mengerti dan mempelajari tentang filsafat cenderung akan berfikir secara terbuka. Objek filsafat ada dua, yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Sesuatu yang mungkin ada ini akan dijadikan menjadi ada dengan berfilsafat. Berfilsafat itu sendiri meliputi di dalam pikiran dan di luar pikiran. Jika “benda pikiran” di dalam pikiran, tugas kita adalah bagaimana untuk menjelaskan “benda pikiran” itu kepada orang lain. Dan jika “benda pikiran” di luar pikiran, tugas kita adalah bagaimana untuk memahami “benda pikiran” tersebut. Filsafat ilmu mengajarkan seseorang untuk tidak langsung percaya dengan apa yang dikatakan oleh orang lain (mitos) dan terjebak dalam mitos-mitos tersebut sehingga menjadikannya sebagai kebenaran yang sesungguhnya.
Hermenitika Hidup (Metode Hidup) dapat diartikan sebagai “diterjemahkan dan menerjemahkan”. Untuk dapat diterjemahkan dan menerjemahkan, manusia harus bepikir terlebih dahulu. Berpikir itu sendiri mengenai benda dalam pikiran yang terdapat pada ruang dan waktu yang menghasilkan sesuatu itu ada dan mungkin ada. Yang menandakan sesuatu itu ada, ketika seseorang dapat menyebutkan salah satu sifat dari sesuatu itu. Tidak ada ruang jika tidak ada waktu, begitu pula sebaliknya. Seseorang biasanya cenderung berpikir untuk sesuatu yang nyata ada (jelas) dan mereka tidak bisa memikirkan sesuatu yang mereka belum ketahui. Akan tetapi, seseorang filsuf yang sangat mencintai ilmu. Rasa penasaran mereka akan sesuatu yang mungkin ada itu lebih besar. Sehingga mereka berpikir keras bagaimana menemukan teori yang dapat mendukung sesuatu yang ada dalam pikirannya. Pikiran tersebut diperoleh dari logika (pengetahuan) dan pengalaman seorang individu. Semakin banyak pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang akan menjadikannya memiliki banyak pemikiran yang ingin dia pecahkan.
Dalam hermenitika hidup, spiritual merupakan puncak dari grafik hermenitika hidup tersebut. Spiritual tidak cukup hanya dengan menggunakan pikiran seseorang saja. Karena sejatinya manusia tidak hanya menggunakan pikiran (berfikir) saja dalam menyelesaikan atau mempercayai suatu hal. Di dalam diri manusia juga terdapat kalbu (hati/perasaan). Dalam menanggapi hal spiritual yang lebih peka adalah kalbu dan kemudian akan ditransfer ke dalam pikiran. Contohnya, ketika kita melihat pengemis di jalan. Logika kita menolak untuk membantunya karena itu mendidik pengemis tersebut menjadi pemalas. Tapi jika pengemis itu adalah seorang nenek yang sudah renta maka perasaan kita akan mendominasi dan menyuruh kita untuk membantunya. Ketika seseorang sudah menggunakan perasaan, sebenarnya dia mengetahui bahwa seseorang harus saling membantu. Dan saling membantu membantu orang lain diajarkan oleh semua agama.

Sehebat-hebatnya seseorang menulis, orang tersebut tidak bisa menulis semua yang dibicarakannya. Sehebat-hebatnya seseorang dapat berbicara dengan baik, orang tersebut tidak dapat mengutarakan semua yang ada dipikirannya karena omongan bersifat terbatas. Dan sehebat-hebatnya pikiran yang dimiliki oleh seseorang, orang tersebut tidak bisa mengetahui seluruh relung hati atau perasaannya. Jadi tetapkan hati kita terlebih dahulu sebelum kita mengembarakan pikiran kita, terutama mengenai agama. Karena untuk membicarakan tentang agama, pikiran kita harus dibatasi dan batas itu adalah hati atau perasaan. Ketika seseorang melewati batas dalam berfikir maka seseorang tersebut akan cenderung mempertanyakan keberadan tuhan yang “ghoib” dan bahkan tidak mempercayai tuhan. Karena manusia tidak sempurna, maka manusia tidak bisa melihat hal-hal yang bersifat “ghoib”. Untuk mempercayai hal-hal yang bersifat “ghoib”, perasaan dan logika manusia harus berjalan secara beriringan. Manusia memang hidup dalam ketidaksempurnaan, akan tetapi ketidaksempurnaan itulah yang menjadikan manusia itu sempurna. Karena yang sempurna hanyalah Sang Pencipta, dan Sang Pencipta sudah menciptakan manusia dalam wujud yang terbaik untuk membaca kebermanfaatan bagi orang lain. Oleh karena itu, kita harus lebih bersyukur atas segala sesuatu yang diterimanya.